Kamis, 31 Januari 2013

Skenario Pasca-2014

Penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menghantam citra partai politik dan demokrasi sampai ke tanah. Partai dengan torehan positif yang relatif banyak (dibanding partai lain sekarang ini), ditambah citra bersih dan kader militan, ternyata menyimpan oknum koruptor. Petingginya pula. Lantas apa? Beginikah yang mampu dihasilkan demokrasi dan partai politik kita? Jawabannya: Belum Semua.

Pukulan Dari Pemilih

Yang paling berbahaya dari diterapkan sistem demokrasi adalah minimnya partisipasi politik. Demokrasi memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk berpartisipasi dalam politik, dari sekedar tulis surat pembaca sampai demonstrasi. Tetapi, aksi paling penting dari partisipasi itu adalah pada saat pemilu, karena pada saat itu warga (siapapun yang memenuhi syarat (biasanya dewasa)) menentukkan apa yang akan terjadi kepada negara ini ke depannya, melalui tokoh-tokoh yang dipilihnya dari partai politik. Tokoh-tokoh terpilih ini akan duduk dalam lembaga eksekutif dan legislatif untuk kemudian menjalankan negara. Lalu bagaimana kalau partisipasinya rendah?

Demokrasi memberi ruang bagi partisipasi yang setinggi-tingginya, kalaupun partisipasinya rendah, maka ruang itu tetap sama luasnya. Ruang kosong dari demokrasi ini akan dimanfaatkan oleh oligarki elit haus kekuasaan dengan segala cara, memanfaatkan sistem untuk bisa berkuasa. Bagaimana? Uang!. Kelas menengah yang saluran-saluran konsumsinya aman mungkin tidak akan peduli pada proses politik, padahal mereka punya kapasitas untuk tahu lebih jauh. Sementara, kelas bawah yang kelaparan dan kelas menengah picik akan selalu menerima "uluran tangan" elit2 rakus tadi. Dengan politik uang, mereka akan mengisi ruang kosong demokrasi yang ditinggalkan oleh kelas menengah. Untuk demokrasi tidak jadi soal, mereka akan tetap berjalan. Pemilu akan tetap diisi oleh pemilih, akan tetap ada elit yang terpilih.

Semua Curang

Ketika politik uang adalah cara utama untuk mendatangkan pemilih ke TPS, maka siapapun yang menang pasti tidak punya legitimasi. Sederhana, saya tau dia curang, karena saya juga curang. Maka saluran demokrasi yang lain akan bekerja, Demonstrasi. Sama seperti cara mendatangkan pemilih, demonstran juga datang karena dijemput oleh UANG. Pada akhirnya setiap parpol akan punya masa bayarannya sendiri-sendiri, dan mereka siap bertarung kapan saja. Demonstrasi akan terus terjadi dimana-mana, meluas dengan ekskalasi yang lebih besar, massa yang banyak dan semakin beringas, pada saat ini Demokrasi langsung sekarat.

Akan ada banyak kekacauan di seluruh penjuru negeri, bayangkan uang yang dikeluarkan oleh para calon, mereka harus menduduki jabatan untuk mengembalikannya. Tambah sedikit lagi modal untuk rekrut demonstran mungkin bisa membantu, tapi pergolakan yang terjadi tidak lagi soal dukung mendukung. Ini soal kalah menang dari masing-masing demonstran. Menjadi kepuasan diri dari demonstran bayaran ini pada setiap benda yang dihancurkan dan orang yang disakiti. Berlebihan tapi mungkin.

Kembalinya Militer

Di saat semua elemen-elemen demokrasi tidak mampu bekerja seperti parpol tanpa kader, civil society yang apatis, kerusuhan dimana-mana, siapa lagi yang mampu kelola? Masih ada satu institusi yang tersebar di seluruh penjuru negeri, dengan kohesi internal yang pasti jauh di atas rata-rata kelompok-kelompok yang masih tersisa, dengan organisasi yang rapi, dan yang terpenting - sumber kekuasaan - senjata.

Jumat, 24 Agustus 2012

Crisis of Capitalism

Ini adalah tulisan brilian dari James Durante mengenai kritik atas kapitalisme. Sejauh blog ini berlangsung, hanya ada satu puisi dari Conrad Aiken yang seluruhnya berasal selain dari penulis, tetapi karya yang jenius ini tidak perlu lagi perubahan, ia mejelaskan persoalan dengan bahasa yang paling sederhana. Cukuplah pengantar ini, silakan menikmati.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mainstream economics of whatever stripe takes capitalism as a given. Capitalism is held up as a natural phenomenon like the weather or the solar system. Then they attempt to model the functioning of this allegedly natural phenomenon.

But capitalism is no more "natural" than feudalism or the classical Greek or Roman Imperial systems. Economics is a subset of politics. The kind of economic system under which one must live, its basic purpose and functioning, is dependent on the political will of a particular group in society. Capitalism, like the previous systems, is designed to benefit a particular class of individuals, namely those who own and manage the fields and factories and services. 

Under capitalism, the basic purpose of the state is to enforce laws that transfer wealth created by labor to owners and managers. Financial crises occur when this wealth transfer process becomes so severe that workers are no longer able to purchase the commodities and services that they themselves create. Wages are driven down, and income and wealth become so unequally distributed that there is insufficient demand to sustain economic growth.

The twist in this most recent crisis of capitalism involved a variety of complex, real-estate related derivatives (on the side of the ownership class) coupled with increasingly debt-laden middle and working class individuals and families (on the working class side). "Naturally," when the inevitable crisis occurred, the state (ally of the dominant class) bailed out the ownership class and has devised endless variations of austerity for the class that actually creates the valued goods.

A certain German born economist who worked all his life in England laid all this out in plain language for anyone who wanted to to see it. But power and greed are powerful and sufficient to blur most anyone's vision. Where he erred was in assuming that technological changes and economic laws would drive a historical transition. No, politics is the master of history. Today there is an incipient political clash between an increasingly corrupt and venal ownership class (represented in the schools by an army of economists) and working class that is beginning to realize how extravagantly the cards are stacked against them. Let a few major Spanish or Italian banks fail, let the house of finance cards start to crash and this political clash will become decisive. At that point the various dogs of the state--the police and paramilitary forces--along with a paranoid, neo-fascist right wing of society will join the fray. At that point the dictum that "the future is unwritten" will become a living, breathing historical reality. And then the dice will be rolled again and the possibility of real freedom and equality will resent itself.

Senin, 30 Juli 2012

Profil Elit Politik Indonesia pasca Pemilu 1999 (Sirine Bahaya Reformasi Birokrasi?)


Partai Politik Sebagai Kendaraan Elit (1999-2009)

Dimulai dari pemilu 1999, elit-elit politik mulai bermunculan dari partai politik, yang menjelang pemilu 1999 tumbuh bagai jamur di musim hujan. Elit-elit lama segera berganti jubah, mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai yang dikenal reformis dan segera berbaur dengan elit baru. Partai politik yang tumbuh dan berdiri setelah reformasi tidak diikuti proses institusionalisasi dalam tubuh partai. Partai politik hanya didirikan sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan politik, tujuan mereka semata-mata elitis, karena itu tidak keliru jika dikatakan pada periode 1999 dan selanjutnya, partai politik tidak lebih dari sekelompok elit yang terorganisir.
Secara umum, persoalan partai politik di Indonesia setelah reformasi bergulir adalah tumbuhnya partai presidensial atau presidensialisasi partai, meningkatnya otoritarianisme intra-partai, melazimnya ‘politik uang’, terbangunnya kartel, dan mulai menonjolnya elit daerah (fenomena putra daerah). Presidensialisasi partai maksudnya adalah penggunaan partai politik hanya sebagai persyaratan untuk menjadi calon presiden, sehingga fungsi-fungsi utama partai politik cenderung dikesampingkan, akibatnya yang terjadi adalah pemanfaatan media massa dan komunikasi untuk menjaring massa, atau lebih populer dikenal dengan politik pencitraan.[1] Partai presidensial semacam itu tidak terlalu memikirkan kaderisasi bahkan ideologi, karena tujuan akhirnya hanya memenangkan sang kandidat. Karena itu, partai membutuhkan sokongan dana yang kuat (untuk kepentingan pembangunan citra) dan tokoh yang populer. Hal ini membuka peluang masuknya orang-orang kaya, terutama pengusaha, dan tentu saja kemudian berkaitan dengan melazimnya politik uang. Partai presidensial semacam ini pada akhirnya akan meninggalkan ikatan dengan ideologi tertentu dan mulai mencari ceruk pasar pemilih majemuk agar bisa mendulang suara sebanyak mungkin.
Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden adalah contoh nyata dari presidensialisasi partai. Partai Demokrat (PD) yang didirikan pada tahun 2001 langsung memperoleh 7.3 persen suara, padahal ia tidak memiliki basis massa tradisional dan tidak menonjolkan ideologi atau aliran tertentu, secara umum Partai Demokrat tidak ada bedanya dengan partai lain. Sosok SBY berperan sangat besar dalam perolehan suara PD, 7.3 persen adalah perolehan yang cukup besar untuk kelas partai baru yang tidak memiliki basis massa jelas dan ikatan sejarah dengan partai-partai lama. SBY berhasil memaksimalkan politik pencitraan sehingga ia dengan gemilang mendulang suara terbanyak pada pemilu presiden 2004.
Dan Slater melihat fenomena populernya SBY merupakan sesuatu yang menentang arus pokok pada masa itu. SBY adalah seorang kandidat presiden Indonesia yang tidak didukung partai besar manapun. Namun, SBY ternyata mendapat sambutan yang baik dikalangan masyarakat. SBY memenangi pemilu presiden dan partainya mendapat 7,3 persen suara pada pemilu yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya, sementara lima partai besar pada pemilu 1999 tidak mengalami kenaikan suara yang signifikan, malah perolehan suara PDI-P sampai turun sekitar 15 persen. Slater melihat fenomena tersebut adalah akibat dari kartel partai yang dilakukan partai-partai besar sebelum pemilu 2004. Kartel tersebut ternyata banyak mengecewakan pemilih, sehingga banyak pemilih yang mengalihkan suaranya dari partai-partai besar tersebut ke partai-partai baru, seperti PKS dan Partai Demokrat. Kartel partai tersebut, sebagaimana yang ditulis Slater telah menciptakan accountability trap (jebakan akuntabilitas).[2]
Slater menilai bahwa pasca-pemilu 1999, konfigurasi partai politik diarahkan hanya untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan belaka, sehingga (dengan menggunakan istilah Katz dan Mair) terjadilah apa yang dinamakan sebagai collusive democracy (demokrasi persengkongkolan) yang elitis.[3] Slater juga menggunakan teori O’Donnell tentang delegative democracy (demokrasi delegatif) atau demokrasi yang diwakilkan, namun yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi delegatif yang negatif. Demokrasi delegatif secara ringkas berangkat dari asumsi siapapun yang memenangi pemilihan dan memperoleh kekuasaan maka ia akan menjalankan kekuasaan tersebut sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut menjadi negatif karena pada kenyataannya di Indonesia, presiden yang terpilih menjalankan kekuasaannya dengan mengabaikan suara rakyat, sehingga keinginan sang pemimpin merupakan representasi keinginan elit.[4] Karena itu, yang terjadi kemudian adalah presiden membagi-bagikan kursi kabinet sebagai salah satu cara agar kebijakannya dapat dengan mudah mendapat dukungan partai-partai di parlemen. Kursi-kursi kabinet tersebut dibagikan kepada partai-partai yang tergabung dalam kartel partai tadi. Tujuannya agar partai-partai yang memperoleh kursi di kabinet dapat memanfaatkannya untuk kepentingan partai. Inilah yang disebut sebagai demokrasi persengkokolan. Meski secara prosedur demokrasi telah berjalan, tetapi dalam implementasi masih terjadi penyimpangan, salah satunya adalah adanya persengkokolan elit-elit partai dengan penguasa.
Kemenangan SBY pada pemilu 2004 tidak terlepas dari dukungan partai koalisi (koalisi yang terpaksa dilakukan karena suara PD tidak cukup untuk mengajukan calon presiden). Koalisi partai pendukung SBY menunjukan bahwa faktor pragmatisme cukup untuk membawa mereka pada kesamaan pandangan. Sementara itu, partai-partai lain terjebak pada otoritarianisme intra-partai, seperti PDI-P yang masih sulit mengesampingkan Megawati sebagai tokoh sentral, begitu juga PAN dan PKB. Hanya PKS yang menunjukan kinerja sebagai partai yang baik, secara internal proses suksesi dan kaderisasi terbilang sukses walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perolehan suara pada pemilu 2009. Partai-partai Islam seperti PPP dan PBB semakin tenggelam. Pertarungan antar elit di dalam partai menyebabkan partai-partai politik besar terpecah-pecah. PDI-P menghasilkan paling banyak sempalan, begitu juga Golkar, sedangkan sempalan PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah sempalan yang paling sukses dalam pemilu 2004 walaupun tidak mampu bertahan pada pemilu 2009.

Karaktersitik Elit Politik Baru Pasca-Pemilu 1999

Elit-elit politik baru setelah reformasi secara garis besar berasal dari kelompok pro-demokrasi pada masa Orde Baru, purnawirawan militer, dan pengusaha. Mereka memasuki ranah politik melalui partai politik, memanfaatkan euforia demokrasi. Sesuai dengan tesis Haggard dan Kaufman, demokratisasi yang disebabkan krisis ekonomi menyebabkan batas politik menjadi rendah sehingga siapapun bisa masuk dalam ranah politik dan mengambil posisi strategis kemudian menjadi elit, asalkan mereka memiliki modal yang cukup untuk itu. Kualitas elit politik tidak ditentukan oleh kualitas manajerial dan kepemimpinan melainkan kemampuan mereka tampil menarik simpati publik. Kemudian para elit ini akan berupaya memaksimalkan segala sumberdaya yang mereka miliki untuk bertahan pada posisi mereka, karena itu mereka sangat berkepentingan untuk mempengaruhi kebijakan untuk menguntungkan posisi mereka. Hal ini menyebabkan maraknya politik uang, misalnya dengan membayar sejumlah uang agar bisa dicalonkan sebagai pejabat publik atau anggota DPR, anggota dewan yang berperan sebagai makelar proyek bagi perusahaan-perusahaan swasta, pengusaha yang mulai menduduki kursi ketua umum partai politik, serta para pengusaha super kaya yang turut memengaruhi kebijkan politik demi keuntungan kelangsungan bisnis mereka.
Sebuah partai disebut memiliki organisasi yang baik jika mempunyai sumber daya manusia dan finansial yang memadai. Selain itu, peran pemimpin—walaupun penting—tidak mengalahkan kedudukan dari partai itu sendiri. Hubungan antar partainya pun berjalan dengan baik, memiliki susunan struktur yang tetap, memiliki daerah cakupan yang luas, terorganisir dengan baik, serta memiliki ketetapan prosedur dan struktur internal yang jelas (meliputi prosedur untuk memilih dan mengganti pemimpin partai). Politisi pun memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partainya, dilihat dari komitmen mereka untuk tidak berpindah partai dan tidak mendukung kandidat dari partai lain di depan umum. Lagi-lagi keadaan ideal ini kontras dengan Indonesia. Padahal menurut Scott Mainwaring, institusionalisasi partai yang lemah dapat membahayakan kualitas demokrasi dan prospek konsolidasi demokrasi.[5] Ia memberikan empat kriteria dalam melihat tingkat institusionalisasi sistem kepartaian. Pertama, stabilitas dalam kompetisi antar partai, kedua, seberapa kuat partai memiliki akar di masyarakat, ketiga, legitimasi partai dan volatilitas perolehan suara partai dalam pemilu, dan yang keempat adalah organisasi partai yang baik.
Proses terbentuknya elit politik baru di Indonesia ternyata mengafirmasi empat pendekatan Haggard dan Kaufman tentang aktor-aktor dalam transisi demokrasi.[6] Pertama, aktor kunci berasal dari pihak pemerintah maupun oposisi. Mereka bukan berasal dari kelompok kepentingan, organisasi massa, atau gerakan sosial, meskipun ketiganya berperan cukup besar dalam menggalang dukungan rakyat untuk menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Begitu pemerintahan baru terbentuk, tokoh-tokoh dari kelompok kepentingan, organisasi massa, dan gerakan sosial ini langsung tersingkir atau menyengkir, hanya sebagian kecil yang terlibat dalam kekuasaan, itupun bukan berada dalam posisi strategis. Pemerintahan baru pasca-pemilu 1999 berisi elit-elit yang berasal dari rezim lama, terutama politisi Golkar, dan oposisi, seperti Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Selain itu, pensiunan jenderal dari kalangan militer juga terlibat seperti Wiranto dan SBY.
Kedua, definisi dari sikap para elit politik terhadap perubahan rezim. Elit-elit politik pun pada akhirnya berbeda sikap menanggapi perubahan rezim. Megawati yang pada saat rezim lama berkuasa ditekan sedemikian keras, justru malah cenderung lunak terhadap rezim lama. Sementara itu, Abdurrahman Wahid malah melakukan perubahan yang signifikan terhadap institusi-institusi negara yang ada. Ia menghapus departemen yang dianggap sebagai biang korupsi, dan turut campur tangan dalam persoalan internal militer untuk membersihkan militer dari perwira-perwira konservatif dan bermaksud mempromosikan perwira progresif yang justru menimbulkan rasa tidak senang dari kalangan militer sendiri dan politisi di parlemen yang berujung pada pemakzulannya dari kursi presiden.
Ketiga, aktor berprilaku strategis dengan mempertimbangkan perilaku kawan dan lawan. Hal ini lah yang menyebabkan perpecahan di kalangan partai-partai yang tergolong mapan, seperti PDI-P, Golkar, dan PPP, serta munculnya banyak partai baru. Elit politik baru tergolong dalam elit yang terpecah (fragmented), sehingga integrasi struktural dan konsensus nilai terjadi secara minimal, dalam pengertian bahwa jaringan komunikasi dan pengaruh tidak melintasi batas partisan dan sektor elit secara komperhensif. Mereka kemudian menjaga jarak melalui partai politik. Meski begitu, banyaknya politisi yang dengan segera berganti partai setelah pemilu membuktikan perilaku strategis mereka, ditambah belum terinstitusionalisasinya partai-partai politik di Indonesia apabila mengacu kepada kriteria Mainwaring. Terakhir, demokratisasi pada akhirnya adalah proses tawar-menawar antar kepentingan pribadi elit politik. Dengan memanfaatkan partai politik, mereka dengan sekuat tenaga mempertahankan posisi strategis mereka di kekuasaan atau tempat lain yang dapat mempengaruhi kebijakan. Dari hal ini kemudian muncul kecurigaan bahwa kebijakan-kebijakan kontroversial yang dibuat, tidak lain untuk menguntungkan partai politik atau elit tertentu.

Kesimpulan

Dalam konstelasi politik yang terfragmentasi seperti Indonesia saat ini, yang dilakukan (mayoritas) elit politik adalah mengkapitalisasi sumber-sumber kekuasaan untuk mempertahankan rezim atau membentuk rezim yang baru. Setiap kebijakan yang dibuat dengan melibatkan elit politik ini bukanlah kebijakan publik (untuk menyelesaikan masalah publik) tetapi merupakan kebijakan rezim (untuk menyelesaikan masalah rezim). Setiap proses pembuatan kebijakan adalah sarana kapitalisasi sumber kekuasaan. Salah satu cara membawa hal ini kepada keadaan yang lebih baik adalah dengan menggiring masalah publik menjadi masalah rezim. Proses politik dalam praktek sekarang ini masih sulit membuka peluang untuk masuknya individu yang kompeten.


[1] Saiful Mujani, “Presidensialisasi Partai Politik?”, Koran Tempo, Kamis, 23 Januari 2003.
[2] Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”, Indonesia, Vol. 78, (Oct., 2004), pp. 61-92, hlm. 65.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 68.
[5] Scott Mainwaring, “Party Systems in the Third Wave,” Journal of Democracy, Volume 9, Number 3, July 1998, hlm. 79.
[6] Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman, “The Political Economy of Democratic Transition” dalam Lisa Anderson (ed), Transition to Democracy (New York: Columbia University Press, 1999), hlm. 74.

Selasa, 27 Desember 2011

Maoisme dalam Spektrum Ideologi

Mao ketika menerima kunjungan CC PKI di Pekin (Beijing), tampak Ketua CC PKI, D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto

Mao Zedong dilahirkan tahun 1893 di desa Shao-shan di propinsi Hunan, China. Ayahnya petani agak berada. Di tahun 1911 tatkala Mao masih mahasiswa dalam usia sembilan belas tahun, revolusi pecah memporakporandakan dinasti Ch'ing yang memang sudah melapuk. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja pemerintahan kaisar sudah terhalau dan terjungkir, Cina diproklamirkan sebagai sebuah republik. Malangnya, pemimpin-pemimpin revolusi tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan yang kompak dan stabil, revolusi ditandai oleh keresahan dan perang saudara dalam jangka waktu lama, yang berlangsung dari 1945 hingga tahun 1949. Ketika remaja, Mao secara pasti menempuh paham kiri dalam pandangan politiknya dan pada tahun 1920 dia betul-betul sudah jadi Marxis.[1]
Sementara itu, dalam usahanya memegang kekuasaan secara keseluruhan pun partai Komunis Cina jalannya merangkak, berliku-liku, dan terguncang-guncang.  Partai menderita banyak kemunduran di tahun 1927 dan tahun 1934, tetapi bagaimanapun dia mampu bertahan dan hidup terus. Sesudah tahun 1935, di bawah kepemimpinan Mao, kekuatan partai secara mantap meningkat dan berkembang terus. Di tahun 1947, Partai Komunis China sudah siap tempur menumbangkan pemerintahan partai Nasionalis pimpinan Chiang Kai-shek. Di tahun 1949, pasukannya merebut kemenangan dan partai Komunis menguasai mutlak seluruh daratan Cina.
Berkat pengaruh Mao yang luar biasa besar pada massa, semua kekurangan itu bukannya akhir melainkan justru awal dari karier kepemimpinannya, karena pada saat wafatnya tahun 1976 praktis Mao sudah merombak total seluruh China. Tentu saja, bukan Mao seorang yang menentukan garis politik pemerintah di bawah partai Komunis. Mao tidak pernah memegang peranan seorang diri seperti halnya dilakukan oleh Stalin di Uni Soviet. Tetapi, memang benar Mao merupakan tokoh jauh lebih penting dari siapa pun dalam pemerintahan di China hingga akhir hayatnya tahun 1976.

Marxisme
Marxisme adalah akar utama dari komunisme, yang merupakan hasil pemikiran Karl Marx, seorang ahli sejarah, ekonomi, dan filsafat Jerman. Bagi para pengikutnya, Marxisme tidak hanya terbatas pada permasalahan ekonomi dan politik saja, ia mampu mencakup seluruh persoalan yang dihadapi umat manusia di dunia. Marxisme memberikan penjelasan tentang semua sejarah perkembangan manusia, karena itu  ia membutuhkan komitmen total dari pengikutnya untuk menyerah hanya kepada kekuatan absolut massa. Marxisme juga menyediakan rangkaian tujuan, untuk memaknai hidup, dan memberikan inspirasi bagi manusia untuk bertindak, dan menganggap apa yang dikerjakan oleh Marxisme ini adalah sesuatu yang ilmiah.[1]
Konsep inti dari Marsixme adalah materialisme historis,[2] yaitu sebuah konsep yang berdasarkan pada asumsi bahwa gagasan, pemikiran, dan kesadaran direfleksikan dari realitas objektif kebendaan, atau dunia nyata adalah segala sesuatu yang disusun oleh materi. Konsep ini mempertentangkan idealis yang mendasarkan pada asumsi bahwa kekuatan spiritual dan supranatural lah yang menjadi sebab segala hal.
Konsep selanjutnya dalam Marxisme adalah basis dan suprastruktur,[3] yang merupakan dua bagian tidak terpisahkan untuk menjelaskan aktifitas manusia dalam pengertian materialisme. Basis, mewakili kombinasi dari “relasi produksi” yang terdiri dari struktur ekonomi masyarakat dikaitkan dengan tingkatan tertentu dari perkembangannya. Sedangkan suprastruktur mewakili bentuk tertentu dari kesadaran sosial, institusi politik, dan norma hukum, dikaitkan dengan basis ekonomi dan dideterminasi oleh basis ekonomi tersebut.
Doktrin Marxisme juga menjelaskan kelas sosial secara ekslusif, dalam pengertian hubungannya dengan cara produksi, peran dalam organisasi sosial buruh, dan kekayaan. Kelas-kelas terbentuk sebagai hasil dari pembagian kerja dan pengenalan kepemilikan pribadi dari cara-cara produksi. Setiap pembabakan historis dikarakterisasi dengan perbedaan struktur sosial yang merefleksikan konflik kelas.[4]

Leninisme
Leninisme adalah versi Rusia dari marxisme. Leninisme merupakan pemikiran Vladimir Lenin yang didasarkan pada pemahamannya mengenai Marxisme. Leninisme mengandung beberapa konsep penting, salah satunya adalah mengenai peran partai revolusioner. Partai ini merupakan tipe yang unik dari partai politik, ia terdiri dari anggota yang berdedikasi, disiplin, teruji, dan terlatih dengan baik dalam hal memahami komunisme. Elit partai dijalankan dalam organisasi yang sentralistis, sebuah bagian yang substansial dalam partai komunis.[5] Partai komunis kebanyakan menggunakan teori sentralisme demokrasi Lenin, di mana hanya ada segilintir orang yang mengendalikan partai (atau organisasi) yang memiliki pemahaman yang paling baik di antara anggota lainnya (sentralis), meski begitu penentuan siapa saja yang bisa duduk dalam kepemimpinan tetap ditentukan melalui pemilihan (demokrasi).[6]
Untuk mewujudkan sebuah negara berdasarkan Marxisme setidaknya dibutuhkan dua tahap dalam pandangan Leninisme, diantaranya, hak milik pribadi atas alat-alat produksi diganti menjadi milik sosial, di mana sarana-sarana produktif seperti pabrik, toko, bengkel, dan tanah pertanian menjadi milik negara atau koperasi. Perbedaan dalam kebutuhan dan kemampuan bekerja orang belum bisa di perhitungkan, sehingga pada permulaan masih akan ada ketidaksamaan material dan banyak kekurangan. Untuk mengatur keadaan tersebut diperlukan negara sebagai pengatur, sehingga menurut Leninisme negara adalah alat, bukan tujuan.[7]


Maoisme
Maoisme selalu dipahami sebagai varian dari Marxisme yang telah dipersepsikan oleh Mao, namun ternyata Mao sendiri merasa bahwa ia tidak sepenuhnya menguasai seluruh domain dari Marxisme.[2] Mao pada dasarnya memang bukan pemikir Marxis yang original di China. Ia banyak dipengaruhi oleh Li Dazhao, bapak Marxisme China. Mao mengaggumi konsep-konsep Li yang tidak hanya mengharuskan kaum intelektual bergabung dengan massa, melainkan juga harus memperdalam nasionalismenya. Hal tersebut kemudian membuat Mao menjadi seorang Marxis-Leninis dan sekaligus seorang nasionalis.[3]
Nasionalisme juga merupakan salah satu karakteristik dari Maosime, jika Leninisme menganggap negara hanya sebagai alat untuk menuju revolusi dunia bagi terciptanya masyarakat komunisme, maka Mao melihat negara tidak hanya sekedar alat tetapi (khusus bagi pengalaman Asia) negara juga merupakan sebuah nilai tersendiri, karena itu nasionalisme juga penting untuk ditumbuhkan disamping kesadaran tentang komunisme.[4] Namun, nasionalisme yang dimaksud Mao bukanlah nasionalisme konservatif China yang bersifat konservatif Konfusian atau nasionalis gaya barat, tetapi nasionalisme revolusioner, yang tidak perlu melewati tahapan Westernisasi.[5] Dalam pandangan Mao, ajaran Marx dan Engels hanya memiliki sedikit relevansi dengan keadaan di China, karena mereka hanya menjadikan manusia sebagai objek pasif dari kekuatan sejarah.
Hal lain yang membedakan Maoisme dari Marxisme-Leninisme pada umumnya adalah anggapan Mao bahwa petani memiliki inisiatif dalam menentukan arah revolusi, karena itu petani harus dilibatkan dalam revolusi.[6] Sementara, menurut Lenin, revolusi harus tetap dikendalikan oleh proletar, dan ia juga menolak petani bisa memiliki kesadaran sendiri dalam melakukan revolusi, petani harus disadarkan, dan dalam hal revolusi ia hanya sebatas membantu kelas proletar, bukannya menjadi aktor tunggal. Tetapi bagi Mao, di China petani adalah kelas utama yang dapat mewujudkan terjadinya revolusi, dan sebenarnya hal ini telah diprediksi oleh Lenin sendiri bahwa di Asia revolusi akan digerakkan oleh petani.
Maoisme menganggap bahwa proses dialektika sebenarnya tidak akan berujung, karena bagi Mao kontradiksi yang terjadi selama ini akan abadi, hal ini bertolak belakang dengan konsep dialektis gaya Hegel yang menjadi ruh Marxisme, bahwa proses dialektis tersebut akan berakhir dengan terbentuknya masyarakat komunisme. Mao melihatnya tidak seperti itu, menurutnya kontradiksi-kontradiksi akan bervariasi dengan berbagai macam bentuk, Mao juga menganggap bahwa terdapat kemungkinan terjadinya regresi sejarah yang bertentangan dengan perkembangan masyarakat yang telah dikonsepkan Marx, karena itu kedua konsep Mao tersebut digolongkan sebagai konsep non-Marxis.[7]
Mao termasuk radikal dalam menerjemahkan dan menerapkan Marxisme-Leninisme di China, termasuk dalam menerjemahkan ungkapan Lenin bahwa meskipun masyarakat sosialis telah lama terbentuk, kapitalisme masih memiliki peluang untuk bangkit kembali karena masih terdapatnya “ide-ide borjuasi” dalam pikiran orang tertentu. Khawatir dengan kebenaran ungkapan Lenin tersebut, Mao kemudian menyerukan dilakukannya Revolusi Kebudayaan dengan mengirimkan orang-orang kota yang dianggap masih memiliki “ide-ide borjuasi” ke desa-desa untuk menjalani hidup sebagai petani, agar “ide-ide borjuasi” tadi bisa terkikis dan tergantikan dengan ide-ide yang dimilliki oleh para petani.[8]
Pemikiran Mao tetap tidak terlepas dari kritik, banyak ahli menganggap tidak ada yang original dari teori-teori Mao. Ia kebanyakan hanya mengulang apa yang telah dikemukakan Lenin, seperti tentang kesadaran kelas, teori imperialisme, dan ide tentang aliansi politik antara proletar dengan kelas lain. Mao tidak pernah menciptakan sendiri teori yang memang berasal dari hasil pemikirannya dalam sintesa lengkap. Ia hanya mempersonifikasikan sebuah sintesa antara Marxisme-Leninisme dan China tradisional, ia sama sekali tidak menciptakan sebuah sintesa intelektual, yang terjadi sebenarnya hanyalah sebatas campuran dari keduanya.[9] Kondisi yang demikian bisa jadi disebabkan karena Mao memang tidak sepenuhnya menguasai Marxisme-Leninisme itu sendiri.

Pemerintah China mungkin bisa mengawetkan jasad Mao, tetapi mereka gagal mengawetkan pemikirannya

Maoisme Setelah Reformasi 1978
Setelah Reformasi 1978, Maoisme tidak lagi berjaya seperti ketika Mao masih hidup. Masyrakat China dapat menerima pemikiran Mao bukan karena ia memang memiliki nilai yang layak atau sesuai, tetapi lebih karena mereka tidak memiliki pilihan lain.[10] Pemikiran Mao mulai ditinjau ulang, disesuaikan dengan tujuan-tujuan reformasi. Pembangunan model Soviet diganti dengan sosialisme model China. Kegagalan China di segala bidang kehidupan selama dipimpin Mao lah yang menyebabkan akhirnya maoisme juga harus tersingkir oleh gelombang reformasi.
Andrew G. Walder menyatakan bahwa kegagalan maoisme setidaknya disebabkan oleh dua hal.[11] Pertama, ketika Mao memutuskan untuk menghalangi motif pasar dan menekan alokasi pasar, yang terjadi adalah motif administratif dan alokasi birokrasi. Keadaan yang demikian tidak dapat dipungkiri, telah menguntungkan segelintir birokrat dan elit partai, yang sebenarnya membentuk kelas kapitalis baru dengan jubah komunisme. Kedua, penguatan ideologi dan kediktatoran proletariat telah menyebabkan terjadinya kediktatoran birokrat. Hal-hal semacam ini pada akhirnya semakin menjerumuskan China.
Untuk mengatasi kegagalan Maoisme, maka Deng Xiaoping memberikan dukungannya kepada Hu Yaobang, sekretaris jenderal partai, untuk melakukan reorientasi ideologi, untuk mendukung reformasi. Reorientasi ideologi kemudian membuka peluang masuknya ide-ide barat dan nilai tradisonal China secara selektif. Pemimpin China pasca-Mao memang ingin memperbaiki Maoisme tanpa perlu menyalahkan Mao atas kegagalan Maoisme. Reorientasi tersebut dilandaskan pada prinsip “mencari kebenaran dari fakta” menggantikan “kebenaran dari pimpinan”. Maka dimulailah diskusi dan perdebatan mengenai nasib ideologi tersebut.[12]
Reorientasi ideologi  pertama kali menyentuh identifikasi nasionalisme dan sosialisme, untuk melengkapi pemikiran Mao sebelumnya. Kemudian, untuk mendukung arah ekonomi baru China, yang menerapkan sistem “pasar-sosialis”, bentuk-bentuk kepemilikan individu mulai diperkenalkan. Kapitalisme juga mengalami perbaikan makna, setidaknya faktor kapitalis tidak akan berbahaya apabila negara menerapkan kediktatoran proletar,[13] karena itu kemudian muncul kelas-kelas kapitalis baru yang bekerja sama dengan negara dalam bidang ekonomi. Pergerakan reformasi dan reorientasi ideologi sebisa mungkin tidak sampai menggangu tatanan sosial yang sudah ada di China, sehingga China kemudian tidak terlalu khawatir tentang menguatnya demokratisasi yang nantinya akan semakin mengikis pondasi ideologi komunisme.






[1] Jung Chang dan Jon Halliday menganggap bahwa sebenarnya Mao tidak terlalu bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang Marxis. Lihat Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007). hlm 28-44
[2] Nick Knight, “The Marxism of Mao Zedong: Empiricism and Discourse in the Field of Mao Studies”, The Australian Journal of Chinese Affairs, No. 16 (Jul., 1986), pp. 7-22. hlm 7
[3] Rene Goldman, “Mao, Maoism and Mao-logy”, Pacific Affairs, Vol. 41, No. 4 (Winter, 1968-1969), pp. 560-574. hlm 564
[4] Ibid. hlm 565
[5] Ibid. hlm 564
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm 566
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm 565
[10] Andrew G. Walder, “Actually Existing Maoism”, The Australian Journal of Chinese Affairs, No. 18 (Jul., 1987), pp. 155-166. hlm 157
[11] Ibid. hlm 165
[12] Kalpana Misra, “Deng’s China: Form Post-Maoism to Post-Marxism”, Economic and Political Weekly, Vol. 33, No. 42/43 (Oct. 17-30, 1998), pp. 2740-2748. hlm 2740
[13] Ibid. hlm 2742

Kamis, 08 Desember 2011

20 Tahun Rusia Baru


8 Desember 2011 dalam  penanggalan Kalender Julian, Presiden Rusia Boris Yeltsin, Presiden Ukraina Leonid Kravchuk, dan Presiden Belarus Stanislau Shushkevich bertemu secara rahasia untuk membahas pembubaran Uni Sovyet dan pembentukan Negara Persemakmuran Merdeka (CIS). Dengan merdekanya 3 negara dengan etnis mayoritas di Sovyet itu maka tidak ada alasan lagi bagi Presiden Mikhail Gorbachev untuk mempertahankan eksistensi Uni Sovyet. Negara Komunis pertama dan terbesar di dunia itu harus mengakhiri sejarah ‘singkat’nya. Kapitalis Barat menang, Rakyat Rusia menang, semua menang, hanya Komunisme yang kalah.
Presiden Rusia Boris Yeltsin setelah mengumumkan pemisahan Rusia dari Uni Sovyet

Sepeninggal Uni Sovyet, Liberalisasi terjadi di seantero Rusia. Rezim Yeltsin menjanjikan Rusia yang modern, meski pada kenyataannya, sistem politik yang digunakan berubah menjadi sangat kuno. Kelompok-kelompok yang terbentuk di antara reformis pro-Barat di satu pihak, dan Yeltsin beserta birokrat daerah yang mengelilinginya di pihak lain, telah membuat elit-elit liberal berusaha memperoleh suatu hal yang paling berharga, yaitu kekuasaan, dan dukungan jutaan orang yang mungkin tidak akan pernah didengar oleh elit-elit tersebut. Hal ini yang menyebabkan mengapa kelompok liberal yang terdiri dari intelektual pro-Barat menjadi sangat mendukung Yeltsin. 

Rendahnya kualitas kepemimpinan Yeltsin, membawa Rusia kepada politik klan, di mana selain beraliansi dengan oligarki, Yeltsin juga memasukan keluarganya ke dalam lingkaran kekuasaan. Pada masa kepemimpinan Yeltsin, pengelolaan pemerintahan terpusat pada Yeltsin dan kroni-kroninya, yang diantaranya adalah putri Yeltsin sendiri, Yelena Okulova dan Tatyana Dyachenko, serta orang-orang dekat mereka, seperti taipan media Boris Berezovsky, jurnalis Valentin Yumashov, mantan perdana menteri Anatoly Chubais dan Boris Nemtsev, staf kepresidenan Aleksandr Boloshin, serta konglomerat gas Roman Abramovic. Mereka kemudian menjalankan sebuah kelompok kecil eksklusif yang dekat dengan Yeltsin dan menjalankan politik Rusia sesuai dengan yang mereka inginkan.[1]
Gennady Zyuganov hampir saja memenangi pemilihan Presiden Rusia 1996, Yeltsin mencurangi Pemilu untuk mencegah berkuasanya kembali Partai Komunis
 
Yeltsin sendiri tidak mampu mengawasi apa saja yang dikerjakan oleh kelompok eksklusif ini. Ia sangat mengkhawatirkan jika Rusia, setelah kepemimpinannya berakhir, jatuh ke tangan Zyuganov (komunis) atau Zhirinovsky (ultra nasionalis), yang sangat menentang Yeltsin sejak awal berkuasa. Selain itu, masih ada Yuri Luzhkov yang pada waktu itu masih menjabat walikota Moskwa. Luzhkov termasuk salah seorang kandidat pengganti Yeltsin yang populer, ia di dukung mafia Rusia yang berpengaruh.[2]

Tidak lama setelah Soviet bubar, fokus Yeltsin menjadi terganggu, terutama karena masih kuatnya pengaruh komunisme di Rusia. Kurun waktu September sampai Oktober 1993, terdapat konfrontasi antara Yelstin dengan parlemen, yang oleh Yeltsin diselesaikan dengan cara mengirim tank-tank untuk menghadapi parlemen. Hal ini tentu saja melukai proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Sebagai akibat dari konfrontasi tersebut, kekuasaan parlemen dibatasi melalui konstitusi baru yaitu Konstitusi Federasi Rusia 1993, di mana kewenangan menjadi terpusat kepada presiden.[3] Di samping itu, Partai Komunis Federasi Rusia mengungguli perolehan kursi parlemen pada Pemilu 1995. Karena itu yang diinginkan Yeltsin adalah melakukan segala upaya untuk mencegah kemenangan kandidat komunis, Gennady Zyuganov, dalam pemilihan presiden 1996. Bagi Yeltsin, kemenangan komunis akan menjadi kekalahan total demokrasi, walaupun sepertinya ia tidak terlalu bersungguh-sungguh soal demokrasinya. Yeltsin beruntung karena Konstitusi 1993 membuat parlemen tidak terlalu berpengaruh dan ia juga berhasil mengalahkan Zyuganov dalam pemilihan presiden.[4]

Era Baru Rusia

Kemunculan Vladimir Putin tidak pernah disangka oleh masyarakat Rusia sebelumnya. Mantan Kepala Dinas Keamanan Federal (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti/FSB) Rusia ini kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri sebelum akhirnya menjadi pejabat presiden menggantikan Yeltsin yang sakit. Jika kepemimpinan Yeltsin menghasilkan kelas pengusaha yang mempengaruhi politik (oligarch dalam istilah politik Rusia mengacu kepada Pengusaha Politisi), maka kepemimpinan Putin disokong oleh siloviki. Istilah siloviki berasal dari silovye struktury (struktur kekuatan), mengacu kepada militer, lembaga penegak hukum (kepolisian), dan badan intelijen. Seorang silovik (jamak: siloviki) adalah mantan anggota dari badan-badan tersebut. Mereka berada dalam pengaruh Putin dan telah tumbuh menjadi satu kekuatan baru yang dapat mempengaruhi kebijakan. Para silovik menekankan perlunya mengembalikan kekuatan negara dan memiliki pandangan bagaimana ekonomi seharusnya dijalankan.

Siloviki akan berusaha untuk menkonsolidasikan kekuatan mereka untuk menjaga keberlangsungan peran mereka bahkan setelah Presiden Putin tidak lagi menjadi presiden, atas nama Rusia Raya (Velikaya Russ). Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai bagian dari siloviki dan dekat dengan kelompok tersebut pada saat terjadinya kasus Yukos antara lain adalah; Menteri Pertahanan, Sergei Ivanov, yang merupakan lulusan akademi KGB (Komite Keamanan Pemerintah); Kepala Kamar Audit, Sergei Stepashin, mantan Kepala FSB (Dinas Keamanan Federal, pengganti KGB); Kepala FSB, Nikolai Patrushev; dan Kepala Kejaksaan Rusia, Vladimir Ustinov.
Jaringan siloviki dalam lingkaran kekuasaan Putin

Pengaruh siloviki dan kharisma Putin yang kuat ini menyebabkan Pemilu 2008 hanya sekedar formalitas saja bagi rakyat Rusia. Mayoritas masih menginginkan Putin menjadi Presiden, tetapi karena aturan konstitusi membatasi Putin maksimal hanya dua periode (berakhir pada 2008), ia mempromosikan Dimitry Medvedyev yang merupakan Perdana Menteri dan adik kelasnya di Fakultas Hukum Universitas St. Petersburgh, dan Putin sendiri kemudian menjadi PM. Di masa Medvedyev ini periode kepemimpinan presiden diperpanjang dari 4 tahun menjadi 6 tahun, sehingga pada Pemilu 2012, Putin yang sudah berhak untuk mencalonkan diri lagi, punya kesempatan memimpin Rusia sampai 2024.

Putin sepertinya tetap memiliki visi terhadap demokrasi di Rusia, hanya saja ia menekankan bahwa demokrasi membutuhkan negara yang kuat. Menurutnya,
“Rusia akan dan harus menjadi negara dengan masyarakat sipil yang maju dan demokrasi yang stabil. Rusia akan menjamin hak asasi secara penuh, kebebasan sipil dan politik. Rusia akan dan harus menjadi negara dengan ekonomi pasar yang kompetitif, sebuah negara di mana hak kepemilikan dilindungi dan kebebasan ekonomi membuat seseorang dapat bekerja dengan jujur dan memperoleh hasilnya tanpa perlu khawatir terhadap pembatasan apa pun. Rusia akan menjadi negara yang kuat,  dengan perlengakapan militer yang baik, modern, dan pasukan yang terampil, yang selalu siap mempertahankan Rusia dan sekutunya dan kepentingan nasional serta warga negaranya.... Ini adalah tujuan strategis kita.”[5]

Karena itu, ketika kita melihat demo besar-besaran di Moskwa akhir-akhir ini, media barat memberitakannya seakan-akan Rusia menjadi ‘Arab’ di Eropa Timur, padahal di luar Moskwa dan Kaukasus, nama Putin tetap populer. Putin mengembalikan harga diri Rusia yang hancur lebur pada masa Yeltsin, ia juga berhasil mengembalikan aset-aset berharga Rusia dengan melakukan re-nasionalisasi pada perusahaan-perusahaan penghasil sumber daya alam strategis. Putin mencanangkan program industri militer yang modern, mengedepankan pengembangan teknologi luar angkasa dengan meluncurkan Glonass sebagai pesaing GPS, dan menyebarkan pengaruh Rusia ke negara-negara yang diisolasi Barat, seperti mendukung Iran di PBB dan memberikan pelatihan tentang teknologi peluru kendali kepada ilmuwan Myanmar.
Kerumunan demonstran yang menuntut pemilu bersih dan transparan di Moskwa. Gerakan ini yang dibesar-besarkan media Barat untuk menjatuhkan citra Putin

Rusia yang kuat dibutuhkan oleh dunia saat ini untuk mengimbangi militer Amerika Serikat dan ekonomi China. Rusia memberi pelajaran kepada Barat yang sewenang-wenang terhadap Serbia dengan menyerbu Georgia pada 2008, menghentikan pasokan gas ke Ukraina (yang berarti terhentinya pasokan ke Eropa) karena Barat ikut campur dalam politik dalam negeri negara yang menjadi ‘halaman belakang’ bagi Rusia tersebut. Rusia membentuk kerjasama dengan China dan Negara-negara CIS diseputaran perbatasan kedua negara itu dalam Organisasi Kerjasama Shanghai, dan membentuk komunitas negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat  dalam BRICS (Brazil, Rusia, China, India, and South Africa). Dua puluh tahun berlalu, bayang-bayang Sovyet sudah lenyap tak bersisa, meski Partai Komunis Rusia mulai tampil sebagai penantang kuat. Tetapi, rakyat Rusia secara psikologis masih membutuhkan pemimpin yang kuat dan dominan. Selamat merayakan hari besar. VELIKAYA RUSS!!!!


[1] P. L. Dash, “Twilight of Yeltsin Years”, Economic and Political Weekly, Vol. 34, No. 37 (Sep. 11-17, 1999), pp. 2639-2641. Hlm. 2640.
[2] Ibid.
[3] John S. Dryzek dan Leslie T. Holmes, Post-Communist Democratization: Political Discourse Over Thirteen Countries, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). Hlm. 93
[4] Kekalahan Zyuganov ini dicurigai karena adanya manipulasi suara oleh Yeltsin pada pemilihan putaran kedua, selengkapnya lihat M. Steven Fish, Democracy Derailed in Russia: The Failure of Open Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005). Hlm. 33
[5] Richard Sakwa, Putin: Russia’s Choice – 2nd edition, (Oxon: Routledge), 2008. 299