Partai Politik Sebagai Kendaraan Elit
(1999-2009)
Dimulai dari pemilu 1999, elit-elit politik mulai
bermunculan dari partai politik, yang menjelang pemilu 1999 tumbuh bagai jamur
di musim hujan. Elit-elit lama segera berganti jubah, mendirikan partai baru
atau bergabung dengan partai yang dikenal reformis dan segera berbaur dengan
elit baru. Partai politik yang tumbuh dan berdiri setelah reformasi tidak
diikuti proses institusionalisasi dalam tubuh partai. Partai politik hanya
didirikan sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan politik, tujuan mereka
semata-mata elitis, karena itu tidak keliru jika dikatakan pada periode 1999
dan selanjutnya, partai politik tidak lebih dari sekelompok elit yang
terorganisir.
Secara umum, persoalan partai politik di Indonesia
setelah reformasi bergulir adalah tumbuhnya partai presidensial atau
presidensialisasi partai, meningkatnya otoritarianisme intra-partai, melazimnya
‘politik uang’, terbangunnya kartel, dan mulai menonjolnya elit daerah
(fenomena putra daerah). Presidensialisasi partai maksudnya adalah penggunaan
partai politik hanya sebagai persyaratan untuk menjadi calon presiden, sehingga
fungsi-fungsi utama partai politik cenderung dikesampingkan, akibatnya yang
terjadi adalah pemanfaatan media massa dan komunikasi untuk menjaring massa,
atau lebih populer dikenal dengan politik pencitraan.[1] Partai presidensial semacam
itu tidak terlalu memikirkan kaderisasi bahkan ideologi, karena tujuan akhirnya
hanya memenangkan sang kandidat. Karena itu, partai membutuhkan sokongan dana
yang kuat (untuk kepentingan pembangunan citra) dan tokoh yang populer. Hal ini
membuka peluang masuknya orang-orang kaya, terutama pengusaha, dan tentu saja
kemudian berkaitan dengan melazimnya politik uang. Partai presidensial semacam
ini pada akhirnya akan meninggalkan ikatan dengan ideologi tertentu dan mulai
mencari ceruk pasar pemilih majemuk agar bisa mendulang suara sebanyak mungkin.
Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
presiden adalah contoh nyata dari presidensialisasi partai. Partai Demokrat
(PD) yang didirikan pada tahun 2001 langsung memperoleh 7.3 persen suara,
padahal ia tidak memiliki basis massa tradisional dan tidak menonjolkan
ideologi atau aliran tertentu, secara umum Partai Demokrat tidak ada bedanya
dengan partai lain. Sosok SBY berperan sangat besar dalam perolehan suara PD,
7.3 persen adalah perolehan yang cukup besar untuk kelas partai baru yang tidak
memiliki basis massa jelas dan ikatan sejarah dengan partai-partai lama. SBY
berhasil memaksimalkan politik pencitraan sehingga ia dengan gemilang mendulang
suara terbanyak pada pemilu presiden 2004.
Dan Slater melihat fenomena populernya SBY merupakan sesuatu yang menentang
arus pokok pada masa itu. SBY adalah seorang kandidat presiden Indonesia yang
tidak didukung partai besar manapun. Namun, SBY ternyata mendapat sambutan yang
baik dikalangan masyarakat. SBY memenangi pemilu presiden dan partainya
mendapat 7,3 persen suara pada pemilu yang berlangsung beberapa waktu
sebelumnya, sementara lima partai besar pada pemilu 1999 tidak mengalami
kenaikan suara yang signifikan, malah perolehan suara PDI-P sampai turun
sekitar 15 persen. Slater melihat fenomena tersebut adalah akibat dari kartel
partai yang dilakukan partai-partai besar sebelum pemilu 2004. Kartel tersebut
ternyata banyak mengecewakan pemilih, sehingga banyak pemilih yang mengalihkan
suaranya dari partai-partai besar tersebut ke partai-partai baru, seperti PKS
dan Partai Demokrat. Kartel partai tersebut, sebagaimana yang ditulis Slater
telah menciptakan accountability trap
(jebakan akuntabilitas).[2]
Slater menilai bahwa pasca-pemilu 1999, konfigurasi partai politik
diarahkan hanya untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan belaka, sehingga
(dengan menggunakan istilah Katz dan Mair) terjadilah apa yang dinamakan
sebagai collusive democracy (demokrasi
persengkongkolan) yang elitis.[3] Slater juga menggunakan teori O’Donnell tentang delegative democracy (demokrasi
delegatif) atau demokrasi yang diwakilkan, namun yang terjadi di Indonesia
adalah demokrasi delegatif yang negatif. Demokrasi delegatif secara ringkas
berangkat dari asumsi siapapun yang memenangi pemilihan dan memperoleh
kekuasaan maka ia akan menjalankan kekuasaan tersebut sesuai dengan
keinginannya. Hal tersebut menjadi negatif karena pada kenyataannya di
Indonesia, presiden yang terpilih menjalankan kekuasaannya dengan mengabaikan
suara rakyat, sehingga keinginan sang pemimpin merupakan representasi keinginan
elit.[4] Karena itu, yang terjadi kemudian adalah presiden
membagi-bagikan kursi kabinet sebagai salah satu cara agar kebijakannya dapat
dengan mudah mendapat dukungan partai-partai di parlemen. Kursi-kursi kabinet
tersebut dibagikan kepada partai-partai yang tergabung dalam kartel partai
tadi. Tujuannya agar partai-partai yang memperoleh kursi di kabinet dapat
memanfaatkannya untuk kepentingan partai. Inilah yang disebut sebagai demokrasi
persengkokolan. Meski secara prosedur demokrasi telah berjalan, tetapi dalam
implementasi masih terjadi penyimpangan, salah satunya adalah adanya
persengkokolan elit-elit partai dengan penguasa.
Kemenangan SBY pada pemilu 2004 tidak terlepas dari
dukungan partai koalisi (koalisi yang terpaksa dilakukan karena suara PD tidak
cukup untuk mengajukan calon presiden). Koalisi partai pendukung SBY menunjukan
bahwa faktor pragmatisme cukup untuk membawa mereka pada kesamaan pandangan.
Sementara itu, partai-partai lain terjebak pada otoritarianisme intra-partai,
seperti PDI-P yang masih sulit mengesampingkan Megawati sebagai tokoh sentral,
begitu juga PAN dan PKB. Hanya PKS yang menunjukan kinerja sebagai partai yang
baik, secara internal proses suksesi dan kaderisasi terbilang sukses walaupun
pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perolehan suara pada pemilu 2009.
Partai-partai Islam seperti PPP dan PBB semakin tenggelam. Pertarungan antar
elit di dalam partai menyebabkan partai-partai politik besar terpecah-pecah.
PDI-P menghasilkan paling banyak sempalan, begitu juga Golkar, sedangkan
sempalan PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah sempalan yang paling
sukses dalam pemilu 2004 walaupun tidak mampu bertahan pada pemilu 2009.
Karaktersitik Elit Politik Baru Pasca-Pemilu 1999
Elit-elit politik baru setelah reformasi secara garis
besar berasal dari kelompok pro-demokrasi pada masa Orde Baru, purnawirawan
militer, dan pengusaha. Mereka memasuki ranah politik melalui partai politik,
memanfaatkan euforia demokrasi. Sesuai dengan tesis Haggard dan Kaufman,
demokratisasi yang disebabkan krisis ekonomi menyebabkan batas politik menjadi
rendah sehingga siapapun bisa masuk dalam ranah politik dan mengambil posisi
strategis kemudian menjadi elit, asalkan mereka memiliki modal yang cukup untuk
itu. Kualitas elit politik tidak ditentukan oleh kualitas manajerial dan
kepemimpinan melainkan kemampuan mereka tampil menarik simpati publik. Kemudian
para elit ini akan berupaya memaksimalkan segala sumberdaya yang mereka miliki
untuk bertahan pada posisi mereka, karena itu mereka sangat berkepentingan
untuk mempengaruhi kebijakan untuk menguntungkan posisi mereka. Hal ini
menyebabkan maraknya politik uang, misalnya dengan membayar sejumlah uang agar
bisa dicalonkan sebagai pejabat publik atau anggota DPR, anggota dewan yang
berperan sebagai makelar proyek bagi perusahaan-perusahaan swasta, pengusaha
yang mulai menduduki kursi ketua umum partai politik, serta para pengusaha
super kaya yang turut memengaruhi kebijkan politik demi keuntungan kelangsungan
bisnis mereka.
Sebuah partai disebut memiliki organisasi yang
baik jika mempunyai sumber daya manusia dan finansial yang memadai. Selain itu,
peran pemimpin—walaupun penting—tidak mengalahkan kedudukan dari partai itu
sendiri. Hubungan antar partainya pun berjalan dengan baik, memiliki susunan
struktur yang tetap, memiliki daerah cakupan yang luas, terorganisir dengan
baik, serta memiliki ketetapan prosedur dan struktur internal yang jelas
(meliputi prosedur untuk memilih dan mengganti pemimpin partai). Politisi pun
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partainya, dilihat dari komitmen mereka
untuk tidak berpindah partai dan tidak mendukung kandidat dari partai lain di
depan umum. Lagi-lagi keadaan ideal ini kontras dengan Indonesia. Padahal
menurut Scott Mainwaring, institusionalisasi partai yang
lemah dapat membahayakan kualitas demokrasi dan prospek konsolidasi demokrasi.[5] Ia
memberikan empat kriteria dalam melihat tingkat institusionalisasi sistem
kepartaian. Pertama, stabilitas dalam kompetisi antar partai, kedua, seberapa
kuat partai memiliki akar di masyarakat, ketiga, legitimasi partai dan volatilitas perolehan
suara partai dalam pemilu, dan yang keempat
adalah organisasi partai yang baik.
Proses terbentuknya elit politik baru di Indonesia
ternyata mengafirmasi empat pendekatan Haggard dan Kaufman tentang aktor-aktor
dalam transisi demokrasi.[6]
Pertama, aktor kunci berasal dari pihak pemerintah maupun oposisi. Mereka bukan
berasal dari kelompok kepentingan, organisasi massa, atau gerakan sosial,
meskipun ketiganya berperan cukup besar dalam menggalang dukungan rakyat untuk
menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Begitu pemerintahan baru terbentuk,
tokoh-tokoh dari kelompok kepentingan, organisasi massa, dan gerakan sosial ini
langsung tersingkir atau menyengkir, hanya sebagian kecil yang terlibat dalam
kekuasaan, itupun bukan berada dalam posisi strategis. Pemerintahan baru
pasca-pemilu 1999 berisi elit-elit yang berasal dari rezim lama, terutama
politisi Golkar, dan oposisi, seperti Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman
Wahid. Selain itu, pensiunan jenderal dari kalangan militer juga terlibat
seperti Wiranto dan SBY.
Kedua, definisi dari sikap para elit politik terhadap
perubahan rezim. Elit-elit politik pun pada akhirnya berbeda sikap menanggapi
perubahan rezim. Megawati yang pada saat rezim lama berkuasa ditekan sedemikian
keras, justru malah cenderung lunak terhadap rezim lama. Sementara itu,
Abdurrahman Wahid malah melakukan perubahan yang signifikan terhadap
institusi-institusi negara yang ada. Ia menghapus departemen yang dianggap
sebagai biang korupsi, dan turut campur tangan dalam persoalan internal militer
untuk membersihkan militer dari perwira-perwira konservatif dan bermaksud
mempromosikan perwira progresif yang justru menimbulkan rasa tidak senang dari
kalangan militer sendiri dan politisi di parlemen yang berujung pada pemakzulannya
dari kursi presiden.
Ketiga,
aktor berprilaku strategis dengan mempertimbangkan perilaku kawan dan lawan.
Hal ini lah yang menyebabkan perpecahan di kalangan partai-partai yang
tergolong mapan, seperti PDI-P, Golkar, dan PPP, serta munculnya banyak partai
baru. Elit politik baru tergolong dalam elit yang terpecah (fragmented), sehingga integrasi
struktural dan konsensus nilai terjadi secara minimal, dalam
pengertian bahwa jaringan komunikasi dan pengaruh tidak melintasi batas
partisan dan sektor elit secara komperhensif. Mereka kemudian menjaga jarak
melalui partai politik. Meski begitu, banyaknya politisi yang dengan segera
berganti partai setelah pemilu membuktikan perilaku strategis mereka, ditambah
belum terinstitusionalisasinya partai-partai politik di Indonesia apabila
mengacu kepada kriteria Mainwaring. Terakhir, demokratisasi pada akhirnya
adalah proses tawar-menawar antar kepentingan pribadi elit politik. Dengan
memanfaatkan partai politik, mereka dengan sekuat tenaga mempertahankan posisi
strategis mereka di kekuasaan atau tempat lain yang dapat mempengaruhi
kebijakan. Dari hal ini kemudian muncul kecurigaan bahwa kebijakan-kebijakan
kontroversial yang dibuat, tidak lain untuk menguntungkan partai politik atau
elit tertentu.
Kesimpulan
Dalam konstelasi politik yang terfragmentasi
seperti Indonesia saat ini, yang dilakukan (mayoritas) elit politik adalah
mengkapitalisasi sumber-sumber kekuasaan untuk mempertahankan rezim atau
membentuk rezim yang baru. Setiap kebijakan yang dibuat dengan melibatkan elit
politik ini bukanlah kebijakan publik (untuk menyelesaikan masalah publik)
tetapi merupakan kebijakan rezim (untuk menyelesaikan masalah rezim). Setiap
proses pembuatan kebijakan adalah sarana kapitalisasi sumber kekuasaan. Salah
satu cara membawa hal ini kepada keadaan yang lebih baik adalah dengan
menggiring masalah publik menjadi masalah rezim. Proses politik dalam praktek
sekarang ini masih sulit membuka peluang untuk masuknya individu yang kompeten.
[1] Saiful Mujani, “Presidensialisasi Partai Politik?”, Koran
Tempo, Kamis, 23 Januari 2003.
[2] Dan Slater, “Indonesia’s Accountability
Trap: Party Cartels and Presidential Power
after Democratic Transition”,
Indonesia, Vol. 78, (Oct., 2004), pp. 61-92, hlm. 65.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid., hlm. 68.
[5]
Scott Mainwaring, “Party Systems in the Third Wave,” Journal of Democracy, Volume 9, Number 3, July 1998, hlm. 79.
[6] Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman, “The Political Economy of Democratic Transition”
dalam Lisa Anderson (ed), Transition to
Democracy (New York: Columbia University Press, 1999), hlm. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar