Kamis, 27 Oktober 2011

Sosialisme dan Militerisme di Amerika Latin

JALAN  “KIRI” AMERIKA LATIN
Kebanyakan akademisi saat ini, terutama mereka yang memang mendalami politik di Amerika Latin, ramai membicarakan tentang maraknya muncul pemimpin dengan paradigma yang “Kiri”. Kemunculan pemimpin pemimpin tersebut tidak hanya di satu atau dua negara saja, setidaknya ada sembilan negara (di luar Kuba) di Amerika Latin yang saat ini dipimpin oleh pemimpin dari kelompok Kiri dan mereka semua terpilih secara demokratis. “Kiri” di Amerika Latin memang berbeda dengan “Kiri” di era perang dingin yang berarti condong ke Uni Sovyet, “Kiri” di Amerika Latin bukan lagi seperti itu. Jalan “Kiri” Amerika Latin adalah gerakan politik dengan pendahuluan sejarah dalam partai politik komunis atau sosial, gerakan sosial akar rumput, organisasi sosial populis, atau kekuatan politik lain yang secara tradisional mempunyai tujuan yang anti-sistematis, revolusioner, atau transformatif (Cleary, 2006: 2). Yang dimaksud dengan “Kiri” di Amerika Latin memang tidak semata-mata sebuah gerakan ideologis, tetapi sebuah gerakan sosial yang nyata dengan keberpihakan kepada rakyat miskin, kalangan buruh, atau kaum petani. Jalan “Kiri” tersebut menekankan pada redistribusi dan keadilan sosial, dan Jalan “Kiri” tersebut mencari dukungan massa diantara segmen-segmen populasi yang dirugikan akibat tatanan sosial dan ekonomi pada saat ini (Cleary, 2006: 36). “Kiri” di Amerika Latin juga merupakan sebuah gerakan sosial politik untuk menciptakan negara yang sejahtera, keadilan sosial dan politik yang inklusif, persamaan secara substantif dan penghargaan kepada kelas pekerja, serta pemenuhan hak bagi kaum-kaum tertindas dan memercikan mobilisasi (to spark mobilization) (Schamis, 2006: 20). 

Evo Morales, Raul Castro, dan Hugo Chavez dianggap sebagai pemimpin "Kiri" paling berpengaruh di Amerika Latin

“Kiri” di Amerika Latin memang tidak sama di setiap negara. Jorge Castaneda setidaknya mengkategorikan dua tipe kiri di Amerika Latin. Pertama, tipe Jalan “Kiri” yang berasal dari komunisme dan Revolusi Boslshevik, kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan “Revolusi Kuba”-nya Fidel Castro. Secara ideologi dan akar organisasi menganut Leninisme, tipe ini secara tidak terduga telah mengubah jalannya ke arah yang lebih pragmatis dan moderat beberapa tahun terakhir ini, untuk menuju kepada bentuk institusi demokratis. Sedangkan tipe kedua, berasal dari seburah gerakan yang sudah melepaskan diri dari simbol-simbol nasionalis dan populis. Jalan “Kiri” ini mengacu kepada rakyat miskin, tetapi melalui retorika yang menghasut dan program redistribusi yang didanai oleh pembengkakan fiskal. Dalam tipe ini, kepemimpinan personal lebih menonjol, sampai-sampai menggerus peranan institusi politik.
Pembagian oleh Castenada tersebut menekankan pada perubahan format organisasi kiri yang memang telah ada sejak lama (biasanya dipengaruhi komunisme), pada tipe pertama, dan perubahan gaya populis pada tipe kedua. Pada tipe pertama, “Kiri” yang diperjuangkan akan menjelma menjadi sebuah institusi yang demokratis, sedangkan pada tipe kedua “Kiri” akan menghasilkan seorang pemimpin yang populis (Castenada dalam Schamis, 2006: 21).
Bergeraknya pendulum politik Amerika Latin secara ke arah “Kiri” tidak terjadi secara serentak. Negara yang mempunyai akar kuat dan masih bertahan adalah Kuba dengan Presidennya Fidel Castro. Kuba sejak 1959 memang memutuskan untuk menggunakan jalan “Kiri” sebagai arah negaranya, pada awalnya, Kuba merupakan sekutu Uni Sovyet di Amerika Latin, setelah Uni Sovyet runtuh, Kuba menetapkan jalan “Kiri”nya sendiri. Fidel Castro memang merupakan sosok panutan bagi pemimpin kiri di Amerika Latin. Presiden Hugo Chavez dari Venezuela serta Presiden Luiz Inacio da Silva (Lula) dari Brazil merupakan pengagum Castro. Mereka sering diberitakan mengunjungi Castro dalam kapasitas pribadi. Mungkin tidak semua pemimpin kiri di Amerika Latin menjadikan Castro sebagai panutan, tetapi paling tidak, mereka semua mendukungnya. Sosok paling menonjol di Amerika Latin saat ini adalah Presiden Hugo Chavez, karena ia berani secara terang-terangan menentang Amerika. Presiden Chavez kemudian segera merangkul pemimpin kiri lain yang baru terpilih di wilayah itu, seperti Presiden Evo Morales dari Bolivia, Presiden Rafael Corea dari Ekuador, dan Presiden Daniel Ortega dari Nikaragua. Chavez juga mendukung Presiden Ollanta Humala dari Peru. Presiden Chavez merupakan ciri-ciri pemimpin kiri yang populis dan radikal dan tidak semua pemimpin kiri di Amerika Latin seperti itu, Presiden Michelle Bachelet dari Chile dan Presiden Nestor Kirchner (sekarang digantikan istrinya yang juga terpilih secara demokratis Christina Fernandez Kirchner) dari Argentina adalah contoh pemimpin kiri yang moderat.

Mantan Presiden Kuba Fidel Castro dan Mantan Presiden Brazil Lula da Silva


Kemunculan “Kiri” di Amerika Latin bukannya tanpa sebab. Ketidaksetaraan ekonomi merupakan salah satu penyebabnya. Peningkatan ekonomi di negara-negara di Amerika Latin ternyata tidak juga mengenyahkan ketimpangan di negara tersebut, melainkan memperparahnya. Performa ekonomi makro Amerika Latin yang baik ternyata hanya mampu berbuat sedikit bagi pemerataan kesejahteraan. Kelompok “Kiri” dapat berhasil karena kebanyakan rakyat Amerika Latin miskin dan hanya sedikit yang benar-benar sejahtera (Cleary, 2006: 37). Ketidaksetaraan tersebut bisa menjadi basis dukungan bagi kelompok kiri dalam keberhasilan mereka di pemilihan umum. Namun, keberhasilan tersebut hanya terdapat pada negara-negara yang secara historis mempunyai basis organisasional untuk mobilisasi massa, contohnya adalah Brazil dengan Partai Buruhnya (PT) (Cleary, 2006: 38). Selain itu, perubahan kondisi geopolitik global juga menjadi penyebabnya. Dengan berakhirnya perang dingin, konsentrasi Amerika Serikat untuk wilayah Amerika Latin berkurang. Biasanya Amerika Serikat pada masa perang dingin turut campur dalam menyingkirkan pemimpin kiri di Amerika Latin.
Jalan “Kiri” Amerika Latin saat ini diarahkan pada cara-cara memperoleh kekuasaan melalui jalur pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan jalan “Kiri” pada era 1960-an dan 1970 yang menekankan pada perjuangan bersenjata dan gerilya, serta kegiatan anti-sistematis lainnya. Saat ini mereka lebih memilih berkompetisi dalam pemilihan umum, mengorganisasikan mereka menjadi partai politik, atau menjalin aliansi dengan partai kiri-tengah yang sudah mapan. Selain menempuh jalan elektoral, kelompok kiri di Amerika Latin biasanya juga akan melakukan aliansi dengan tokoh dari aliran tengah, agar mereka tidak dianggap “terlalu jauh ke kiri”. Namun, kelompok kiri tetap mempelopori berbagai gerakan sosial seperti pemogokan, demonstrasi dan pemblokiran jalan. Meski begitu, tindakan tersebut dianggap sebagai bagian dari demokrasi dari pada penentangan langsung terhadap sistem itu sendiri (Cleary, 2006: 40-41).
Bergesernya pendulum politik di Amerika Latin ke arah kiri ternyata tidak di sepakati semua akademisi. Paling tidak ada James Petras yang melakukan kritik terhadap apa yang disebut oleh kebanyakan akademisi sebagai jalan “Kiri”. Petras lebih menganggap yang terjadi di Amerika Latin saat ini adalah kapitalisme yang enggan atau tidak sungguh-sungguh dari pada sosialisme. Anggapan ini berawal dari pengamatan Petras, bahwa yang dilakukan negara-negara Amerika Latin tersebut adalah  hanya terbatas pada peningkatan cadangan devisa dan pengaruh negara di perusahaan-perusahaan multi nasional bukannya transformasi revolusioner dari kepemilikan atau hubungan sosial dari produksi (Petras, 2006: 5). Nasionalisasi yang dilakukan oleh Venezuela dan Bolivia merupakan sekedar taktik tekanan (pressure tactics) agar perusahaan-perusahaan multi nasional di negara tersebut mau melakukan negosiasi ulang terhadap kontrak mereka. Namun, negosiasi kontrak tersebut tidak melulu membuat perusahaan multi nasional tersebut dirugikan, malahan mereka mendapat keuntungan tertinggi dalam tiga tahun terakhir (Petras, 2006: 6). Selain itu, apa yang dilihat kebanyakan orang tentang sosok Hugo Chavez yang kritis terhadap Amerika Serikat, merupakan akibat dari keterlibatan Amerika Serikat dalam sebuah kudeta yang gagal di negara tersebut pada 2002 (Petras, 2006: 6). Kritik dari Petras tersebut kebanyakan mengacu pada masalah ekonomi. Petras tidak melihat bahwa yang dilakukan Venezuela dan Bolivia sebagai tindakan sebuah negara menentang rezim kapitalisme, tetapi mereka malah bekerja sama dengan kapitalis tersebut dan tetap membiarkan kapitalis berada di negara mereka. Keadaan yang demikian tentu saja tidak lagi dianggap sebagai sebuah jalan “Kiri”, karena itu Petras turut mempertanyakan apakah Amerika Latin benar-benar “berbelok ke kiri”? 


MILITER DI AMERIKA LATIN
Militer di Amerika Latin adalah aparat represif negara dan sebagai birokrasi. Di sisi lain, milliter menjadi sebuah kekuatan sosial dalam ranah politik. Peran militer sebagai aparat represif di Amerika Latin menjadi titik pusat (epicenter) kekuasaan, terlepas apakah militer tersebut mengendalikan pemerintahan atau tidak. Titik pusat kekuasaan ini menjadi tolakan yang memuluskan jalan kelas hegemoni dari blok kekuasaan (Carranza, 1997: 8). Paska otoritarianisme di Amerika Latin, peran militer di pemerintahan sipil semakin berkurang. Setidaknya hal ini di indikasikan dari minimnya kudeta militer yang terjadi di Amerika Latin selama dekade 1990-an dan hanya terjadi sebuah kudeta gagal di Venezuela pada awal dekade 2000-an. Konsolidasi demokrasi dan penerapan ekonomi liberal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an  mampu menciptakan stabilitas politik di Amerika Latin yang tentu saja membuat militer tidak mempunyai alasan kuat untuk terlibat dalam pemerintahan sipil. Di samping itu, perubahan lingkungan internasional juga semakin menciutkan peranan militer di Amerika Latin, orientasi negara adalah perbaikan ekonomi (Carranza, 1997: 18). Kompetisi elektoral yang terjadi pada masa transisi demokrasi telah melemahkan peran militer di Amerika Latin (Hunter, 1997: 454) Militer di Amerika Latin kini lebih nasionalis dan tidak lagi condong kepada Amerika Serikat. Hal ini terbukti  ketika terjadi kudeta yang gagal di Venezuela. Kudeta tersebut di lakukan oleh militer senior dan kelompok oposisi dengan dukungan Amerika Serikat. Namun, kudeta tersebut kemudian digagalkan oleh perwira muda militer yang loyal kepada Hugo Chavez dan memang tidak mendapatkan pendidikan militer ala barat. Militer di Amerika Latin kini hanya sebagai pengawal pemerintahan sipil dan tidak lagi terlibat langsung dalam pemerintahan sebagai mana yang terjadi pada masa perang dingin.

13 April 2002, Chavez dikudeta oleh Jenderal Militer yg didukung AS, tetapi ia diselamatkan oleh Perwira Muda yang mengagumi sosoknya. Kudeta tersebut akhirnya dapat digagalkan.


Untuk lebih jelas melihat bagaimana peranan militer dalam pemerintahan sipil di Amerika Latin, Brazil dan Argentina dapat dijadikan contoh. Di Argentina, keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil melalui serangkaian kudeta semata-mata hanya motif kekuasaan. Bahkan pada tahun 1966 militer mambatalkan pemilu dan Jenderal Juan C. Odinga mendeklarasikan dirinya berada dalam kekuasaan yang tidak terbatas, hal ini berarti dimulainya rezim milliter di Argentina sampai akhirnya mobilisasi masa pada 1969 menjatuhkan Jenderal Odinga pada 1970. Sedangkan di Brazil, keterlibatan militer lebih sedikit dibandingkan dengan Argentina. Rezim militer pertama pada abad ke 20 dimulai oleh Getulio Vargas pada 1930, Vargas membatalkan pemilu dan kembali berkuasa, sampai pada tahun 1945 giliran Vargas yang dijatuhkan oleh militer. Sejak saat itu, militer di Brazil hanya melakukan “kudeta pencegahan” yang tetap bertujuan melindungi konstitusi dan menyerahkan kekuasaan kepada sipil. Sedangkan perbedaan penting dalam membahas hubungan militer di Argentina dan Brazil selama masa transisi ke era demokrasi, antara lain; pertama, transisi di Brazil dimulai oleh kelas menengah, militer Brazil tetap terlibat dalam masa transisi dan memertahankan peran militer tradisionalnya dan kontrol terhadap kebijakan keamanan nasional. Sedangkan di Argentina, selama masa pemerintahan Presiden Alfonsin (1983-1988), militer benar-benar disingkirkan sama sekali dari pemerintahan. Akibat kekejaman yang dilakukan rezim militer selama 1976-1983. Peran militer hanya dibatasi pada wilayah keamanan eksternal, dan tidak boleh terlibat dalam keamanan dalam negeri. Militer Argentina juga tidak mendapatkan jatah kursi di Dewan Keamanan Nasional (National Defense Council). 

Jend. Jorge Videla diapit oleh Laks. Emilio Eduardo Massera dan Brigjen. Orlando Ramon Agosti. Videla memimpin Argentina 1976-1983 dimana lebih dari 30.000 aktivis kiri diculik, disiksa, dan dibunuh. Atas kejahatan tersebut Videla dijatuhi Hukuman Penjara Seumur Hidup pada Desember 2010

            Kedua, militer Brazil bertindak sebagai kelompok penekan yang aktif, dalam mengamankan konstitusi yang diinginkan dan dibutuhkan dalam konstitusi baru 1988. Sementara militer Argentina disubordinasikan kepada otoritas sipil tanpa memiliki hak khusus dalam konstitusi. Ketiga, militer Argentina mengalami repolitikalisasi selama pemerintahan Presiden Alfonsin yang anti-militer. Sedangkan pada saat yang sama militer Brazil melaksanakan profesionalisasi dan politikalisasi secara bersamaan, keduanya tidak dapat dipisahkan dari militer Brazil. Terakhir, militer Brazil masih memunyai aspirasi dengan status kekuasaan yang besar untuk negaranya. Sedangkan di Argentina, Militernya disubordinasi kepada elit transnasional yang mengendalikan ekonomi global (contohnya AS yang menekan Presiden Menem untuk membatalkan program misil Condor II).
            Transisi menuju demokrasi di Argentina dan Brazil bukanlah transisi untuk melaksanakan demokrasi secara penuh. Demokrasi yang terjadi hanyalah “prosedur minimum” (dalam istilah Robert Dahl) yang hanya mencakup adanya pemilu, pengakuan terhadap hak-hak dasar, perlindungan minoritas, dan kontrol militer terhadap sipil. Karena pada kenyataannya pemerintah yang berkuasa di kedua negara tersebut meski dipilih melalui pemilu sekaipun belum tentu bekerja sesuai dengan keinginan rakyatnya, tetap ada kebijakan-kebijakan yang tidak populer dan tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Keterlibatan militer dalam pemerintahan pun masih kental terutama di Brazil. Di Argentina ketika militer disingkirkan sama sekali dari ranah politik, yang terjadi adalah ketidakpuasan dari militer itu sendiri. Setelah berakhirnya rezim militer pada 1983 di Argentina, militer masih menunjukan hasratnya terhadap dunia politik dengan adanya kudeta yang gagal pada 1987, 1988, dan 1990. Hal ini membuktikan bahwa meski disebut transisi menuju demokrasi, tetap saja militer tidak bisa diabaikan apabila membicarakan kedua negara tersebut. (Carranza, 1997: 10-18).
Transisi demokrasi yang terjadi di Amerika Latin ternyata berdampak negatif bagi militer di wilayah tersebut. Militer kemudian mengalami masalah-masalah serius ketika akhirnya pihak sipil menguasai pemerintahan. Sampai tahun 1997, kecuali di Chile dan Peru, peranan militer dalam ranah sipil turun drastis. Permasalahan yang dihadapi militer antara lain ialah pengurangan pengeluaran pertahanan bagi kebutuhan militer. Penyesuaian ekonomi dan restrukturisasi ala neo-liberalisme menjadi alasan untuk mengorbankan pemasukan militer tersebut, bahkan bisnis-bisnis militer juga mulai diprivatisasi (Hunter, 1997: 454, 459, 463, 464, 468, 469). Masalah berikutnya adalah pengurangan kekuatan institusional militer, dengan cara menghilangkan wakil militer dalam senat, atau menempatkan polisi di bawah Departemen Dalam Negeri (Hunter, 1997: 455, 469). Selain itu, pemerintahan sipil juga membuat kebijakan yang berlawanan dengan keingininan militer (Hunter, 1997: 455). Selanjutnya, pegelolaan keamanan internal juga menjadi masalah juga pengurangan personel militer. Militer tidak lagi diberikan wewenang menangani keamanan internal, wewenang militer hanya terbatas pada masalah-masalah keamanan eksternal (Hunter, 1997: 458, 464, 465). Terakhir masalah utama yang dihadapi militer di Amerika Latin adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Selama militer memegang kekuasaan di era 1970-an, banyak terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer. Ketika pemerintahan sipil mulai mengambil alih kekuasaan, para pejabat militer yang terlibat mulai diadili untuk dimintai pertanggungjawaban. Pengadilan terhadap para senior militer teresebut semakin memperburuk citra militer di Amerika Latin. Militer benar-benar berusaha disingkirkan dari pemerintahan sipil agar kejadian serupa tidak terulang kembali (Hunter, 1997: 460, 463, 469). Dari sekian banyak masalah yang dihadapi militer tersebut, setidaknya militer masih menunjukan itikad baik bagi negara tempat mereka bernanung. Di Brazil, militer turut berperan dalam mencegah privatisasi besar-besaran yang dilakukan negara tersebut, dan baru berhenti ketika Partai Buruh dan kekuatan populis negara tersebut memperoleh kekuasaan (Carranza, 1997: 19)
Mencermati militer Amerika Latin dari bahasan di atas, sepertinya untuk kedepan, pengaruh militer akan semakin berkurang, terutama karena meluasnya proses demokratisasi di Amerika Latin. Wendy Hunter memperkirakan pengaruh militer di Amerika Latin akan terus turun (Hunter, 1997: 473). Sementara Mario E. Carranza menawarkan lima skenario tentang bagaimana militer akan berperan nantinya. Pertama, menginstitusionalisasikan keberhasilan neoliberal yang mengacu pada “Model Argentina”. Menurut Carranza, meski sipil bisa sepenuhnya mengontrol militer, hal itu tidak bisa dijadikan jaminan bahwa demokrasi bisa terlaksana dengan baik. Privatisasi besar-besaran yang dilakukan Argentina tidak hanya membuka ekonomi untuk investasi luar negeri tetapi juga melemahkan negara dan militer melalui pelucutan aparat industri militer dan Komisi Nasional untuk Energi Atom (National Commision for Atomic Energy). Konsolidasi model tadi akan mengalahkan proporsi dari kelas populer, jika kelas populer menunjukan ancaman serius kepada kelas dominan kapitalis transnasional dan sekutu domestiknya daripada membangkitkan kembali negara birokratik-otoriter di Argentina dan Brazil, kita mungkin melihat terbentuknya rezim militer yang represif tanpa komponen nasionalis dan statist  negara birokratik-otoriter yang akan mengkosolidasikan negara internasionalis yang baru untuk melengkapi pelucutan sektor negara dan intergrasi dari dua ekonomi kedalam orde kapitalis internasional. Kedua, partisipasi demokrasi secara luas yang berupa penggabungan kekuatan dari gerakan kiri baru. Ketiga, kudeta populis oleh militer nasionalis seperti terjadi di Venezuela pada 1992. Keempat, kudeta yang tidak menjatuhkan pemerintahan seperti di Peru yang bertujuan memerangi pemberontakan lokal dan implementasi program stabilisasi. Yang terakhir menurut Carranza, demokratisasi di Argentian dan Brazil tidak hanya didorong oleh oposisi domestik seperti dalam skenario pertama sampai keempat, melainkan juga disebabkan oleh transformasi di tingkat regional dan global (Carranza, 1997: 19-22).

DAFTAR PUSTAKA

Carranza, Mario E. “Transition to Electoral Regimes and the Future of Civil-Military Relations in Argentina and Brazil”, Latin America Prespective, Vol. 24, No. 5, Neoliberal Policies and Resistance. (Sep., 1997), hlm. 7-25.
Cleary, Matthew R. “Explaining th Left’s Resurgence”, Journal of Democracy, Vol. 17, No. 4. (Oktober, 2006), hlm. 35-49.
Hunter, Wendy. “Continuity or Change? Civil-Military Relations in Democratic Argentina, Chile, and Peru”, Political Science Quarterly, Vol. 112, No. 3. (Musim Gugur, 1997), hlm. 453-475.
Petras, James. Is Latin America Really Turning Left?, 2006., diunduh dari www.voltairenet.org/article139969.html
Schamis, Hector E. “Populism, Sosialism, and Democratic Institutions”, Journal of Democracy, Vol. 17, No. 4. (Oktober, 2006), hlm. 20-34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar