Kamis, 17 November 2011

Hakikat Objektifitas dalam Teori Ilmiah

Keberadan realitas tidak bergantung pada kesadaran manusia, juga tidak bergantung pada pengetahuan, kepercayaan, hasrat, atau kekhawatiran pengamatnya... Tugas kesadaran manusia adalah memahami realitas... Bukan menciptakan atau menemukannya. (Ayn Rand)


Pengetahuan seringkali dibedakan dengan ilmu. Pengetahuan adalah hasil proses manusia untuk tahu secara langsung oleh kesadarannya sendiri. Manusia yang mengetahui (subjek) memiliki sesuatu yang diketahui (objek). Tanpa perlu diketahui oleh subjek, objek tetap ada dan mengandung pengetahuannya sendiri, karena itu objek harus memiliki hubungan dengan eksistensinya.[1] Sedangkan ilmu dianggap sebagai usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan pengamatan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode adalah ilmu. [2]
Ilmu harus memiliki syarat-syarat ilmiah, yaitu harus memiliki objek tertentu, bersistem, dan memiliki metode yang meliputi induksi, deduksi, dan analisis. Ilmu yang ilmiah disebut juga ilmu pengetahuan (science). Ilmu pengetahuan ini pada awalnya memfokuskan diri pada objek yang diketahui tanpa perlu membahas subjeknya sedikitpun, karena itu kemudian objektifitas dianggap sebagai salah satu syarat dari ilmu pengetahuan. Ilmu adalah suatu metode berpikir secara objektif untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Analisis ilmu adalah objektif, mengutamakan logika, dan tidak dipengaruhi oleh subjek.[3] Margaret Archer dan Andrew Collier berpendapat bahwa tujuan dari ilmu pengetahuan adalah objektifitas.[4] Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa salah satu aspek dari kegiatan keilmuan adalah menyusun konsep penjelasan atau berpikir secara teoritis terhadap pengetahuan yang telah didapatkan, sehingga teori yang dihasilkan juga harus objektif. Tetapi mengapa teori ilmiah harus objektif? Selain itu perlu juga kiranya untuk diketahui bagaimana kriteria-kriteria dan cakupan objektifitas.

Hakikat, Sumber Ilmu Pengetahuan, dan Teori Ilmiah
Untuk memahami mengapa ilmu pengetahuan harus objektif, terlebih dahulu perlu mengetahui hakikat serta sumber ilmu pengetahuan itu sendiri, sampai ia memperoleh unsur objektifnya. Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa ada dua teori[5] yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat pengetahuan. Pertama, realisme, yang mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau penggandaan yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (fakta) yang berada di luar akal. Pengetahuan adalah apa saja yang sesuai dengan kenyataan. Dalam realisme, objek dianggap memiliki hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta tidak terpengaruh oleh subjek. Kursi yang terdapat dalam ruangan kelas perkuliahan tetaplah kursi sebagaimana adanya meskipun tidak ada seorang pun di ruangan itu untuk mengetahuinya. Kursi tersebut tidak bergantung pada gagasan subjek mengenainya.
Kedua, idealisme, yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan gambaran subjektif dari orang yang membuat gambaran tersebut, karena ide dianggap telah mendahului realitas. Jika diibaratkan kursi dalam ruang kelas tadi, maka kursi tersebut mendapatkan gambarannya pada subjek, karena pada dasarnya subjek telah memiliki ide tentang apa itu kursi. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, realisme lebih maju daripada idealisme, karena realisme dianggap lebih dekat dengan permasalahan manusia dan digunakan sebagai landasan dalam ilmu alam. Dari realisme kemudian berkembang empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah yang didapatkan melalui pengalaman dan bisa dipersepsi oleh indera manusia.[6] Kemudian ada rasionalisme yang menambahkan unsur akal dalam memahami fakta, karena indera sendiri tidak dapat menangkap  kenyataan secara lengkap.[7] Misalnya, mata hanya dapat melihat satu sisi dari kursi yang memperlihatkan kedua kakinya (meskipun kenyataannya kursi tersebut memiliki empat kaki), tetapi rasio yang dikembangkan oleh akal kemudian bisa menyimpulkan bahwa kursi tersebut pasti memiliki dua kaki lagi sehingga ia dapat berdiri stabil. Gabungan kedua aliran ini kemudian digunakan dalam ilmu pengetahuan.
Kursi ini memiliki empat kaki, tetapi karena keterbatasan persepsi indra, ia hanya terlihat memiliki 2 kaki.

Meskipun objek terlebih dahulu dipersepsi oleh indra, ia perlu dimaknai. Pada dasarnya, objek telah memiliki faktanya sendiri, tetapi ia tidak dapat menjelaskan tentang dirinya sendiri. Tugas ilmu pengetahuan adalah memaknai segala sesuatu yang telah diketahui dari objek tersebut. Pemaknaan tersebut harus melalui metode keilmuan, karena tanpa pemaknaan yang sungguh-sungguh, alam akan mendustai kita bila ia mampu.[8] Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan hanya memaknai objek saja tanpa perlu melibatkan subjek. Ketika subjek dilibatkan dalam pemaknaan tersebut, pengetahuan tentang objek menjadi kabur. Misalnya, seorang peneliti (subjek) ingin mengetahui titik didih air (objek), maka ia hanya akan memaknai fakta-fakta yang terdapat pada air tersebut, yaitu jika air ditempatkan dalam wadah yang lebih luas maka panas yang diterima akan lebih merata, atau jika air ditempatkan dalam wadah bertekanan, ia akan lebih cepat menyerap panas. Fakta yang dibicarakan hanya meliputi air yang akan mendidih dalam suatu wadah (ruang) setelah beberapa lama (waktu).[9] Ilmu pengetahuan hanya memaknai objek yang ada dalam ruang dan waktu. Jika kemudian, ditambahkan bahwa setelah 10 menit air dipanaskan, peneliti ternyata juga kepanasan dan menyebabkan ia menghentikan pengamatan dan mengambil kesimpulan bahwa titik didih air adalah ketika ia (subjek) sudah merasa kepanasan. Pada akhirnya bukan pengetahuan tentang air itu sendiri yang didapat. Karena itu, sekali lagi, ilmu pengetahuan hanya menekankan kepada objek, bukan yang lain, dan dari hal ini kemudian berkembang tentang pentingnya objektifitas dalam ilmu pengetahuan.
Fakta-fakta dan gejala-gejala alam yang begitu terbatas  tidak mungkin tertangkap dan teramati secara keseluruhan. Secara rasional, fakta-fakta yang tidak terungkap tersebut akan terjaring oleh pikiran kita. Karena itu, terdapat suatu dugaan sebab-akibat antara fakta-fakta yang telah teramati dan yang belum diamati. Dugaan tersebut disebut hipotesa, yang merupakan langkah awal sebelum terbentuknya teori.[10] Hipotesa tersebut harus diperiksa terlebih dahulu dengan metode ilmiah yang empiris, jika sesuai dengan kebenaran maka hipotesa tersebut dapat menjadi teori yang dalam ilmu pengetahuan dianggap universal. Dalam ilmu pengetahuan, teori ilmiah dapat dikatakan objektif apabila yang dinyatakan dalam teori tersebut sesuai dengan objeknya. Apabila suatu teori tidak sesuai lagi dengan realitas empiris, maka teori itu tidak tepat lagi dikategorikan sebagai teori ilmiah karena telah kehilangan objektifitasnya. Teori ilmiah dapat dikatakan sebagai abstraksi, sistematisasi, dan generalisasi atas realitas dan gejala yang kompleks.[11]

Kriteria dan Cakupan Objektivitas
Objek adalah sesuatu yang dianggap eksis secara independen dari persepsi subjek terhadapnya. Dalam kata lain, objek akan tetap ada sebagaimana adanya bahkan jika tidak ada subjek yang merasakannya. Karena itu, objektifitas seringkali diasosiasikan dengan ide-ide seperti realitas dan realibilitas.[12] Pandangan ini berasal dari filsafat kemudian berkembang sampai pada kemunculan ilmu pengetahuan. Collier memberikan tiga kriteria objektivitas[13], pertama, objektifitas mengacu kepada sesuatu yang benar (nyata dan ada) secara independen terhadap siapa pun yang menilainya. Objektifitas akan tetap berada dalam koridornya siapa pun yang menyatakannya. Setiap orang yang dapat membuktikan keberadaan fakta, melalui bukti-bukti empiris dapat mengklaim objektifitasnya.
Kedua, objektifitas adalah penilaian manusia yang dapat dikatakan objektif. Hal ini berkaitan dengan kriteria pertama. Dalam menyebut penilaian objektif, hal yang menentukan adalah penilaian tersebut disebabkan oleh objek, bukan oleh segi lain dari subjeknya. Mars adalah planet ke empat dari matahari, bukan karena penulis yang mengatakannya, tetapi karena kenyataannya Mars adalah planet ke empat dari matahari. Meskipun manusia (subjek) yang melakukan penilaian, tetapi apabila itu memang dapat dibuktikan melalui penelitian empiris maka penilaian tersebut adalah objektif. Penilaian tersebut harus disahkan melalui eksperimen ilmiah, yang kemudian dikomunikasikan dalam suatu komunitas ilmiah (akademisi) yang bebas dari pengaruh subjektif. Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah teori gravitasi Newton, yang tidak hanya merupakan penilaian Newton, tetapi terdapat eksperimen yang kemudian dikomunikasikan dalam komunitas ilmiah melalui bahasa matematika (rumus). Rumus tersebut kemudian coba dipahami oleh akademisi dan terjadi kesepakatan berdasarkan bukti yang tak terbantahkan. Hal ini dikenal sebagai persetujuan intra-subjek (intersubjective agreement).[14] Meskipun Newton yang memikirkan ukurannya sendiri tentang gravitasi (9,8 m/s2), tetapi subjek lain sepakat dengan itu, maka gravitasi bumi yang memiliki ukuran 9,8 m/s2 adalah objektif.
Dalam teori relativitas umum, Einstein mempostulasikan bahwa gravitasi disebabkan melengkungnya ruang-waktu akibat massa benda, hal ini tidak mungkin untuk direkayasa melalui uji coba. Einstein mengasumsikan dan disetujui oleh ilmuwan lainnya karena peristiwa cahaya yang berbelok (bending light), walau pun tidak ada citra bahwa ruang-waktu benar-benar melengkung.
 
Terakhir, sikap manusia (human attitude), yaitu sikap untuk mencoba membuat penilaian orang (yang disebutkan dalam kriteria kedua) objektif. Sikap ini memberikan tempat kepada eksperimen dan observasi secara hati-hati, ia memonitor setiap penilaian. Selain itu, sikap ini bertujuan untuk menghindari dari bias subjektifitas dan posisi historis seseorang. Sesorang dapat secara seksama memeriksa perkiraan orang lain dan membuat kritik terhadapnya; seseorang dapat memperhatikan hal-hal tertentu untuk membentuk posisi (penilaian) yang berbeda dari orang lain; seseorang dapat menganalisa kesalahan orang lain; dan seseorang dapat memilih untuk belajar dari sumber-sumber yang tidak biasa. Hal ini berarti mengharuskan setiap ilmuwan dituntut untuk mengkaji secara terus-menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkan dengan realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah.[15] Objektifitas sebagai sikap dimaknai sebagai keterbukaan untuk menyangkal melalui data-data yang berasal dari objek nyata.
Collier juga menambahkan bahwa objektifitas tidak dapat disamakan dengan netralitas, sesuatu yang objektif dapat perpihak selama ia tidak bias.[16] Objektifitas juga bukan kebenaran, karena belum tentu apa yang dimaknai sebagai pengetahuan yang objektif adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang objektif hanya berpegangan pada pengertian bahwa pengetahuan tersebut adalah mengenai objek.
Setelah melihat kemunculan dan kriterianya, maka objektifitas pada dasarnya mencakup segala sesuatu yang bukan metafisik atau secara universal menolak metafisik.[17] Dalam ilmu pengetahuan, metafisika tidak dapat terpersepsikan oleh indera dan meski mungkin dapat dijangkau oleh rasio, tetap tidak dapat dibuktikan secara empiris. Ketika teori dirumuskan, maka dengan demikian ia juga harus menolak metafisika untuk mendapatkan objektifitasnya. Dalam ilmu sosial, objektifitas (salah satunya) terdapat dalam tingkah laku yang jelas (overt behaviour) yang melalui metode ilmiah dapat diobservasi secara publik.[18]

Objektifitas sebagai Pengendali Teori Ilmiah
Telah diketahui sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan ada untuk memecahkan persoalan manusia. Ilmu pengetahuan berfungsi dalam menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol gejala-gejala alam. Ketika tidak mungkin bagi manusia untuk menguasai gejala alam maka diperlukan suatu pernyataan yang bersifat  umum, yaitu teori[19]. Teori yang dapat digunakan dalam menganalisa gejala alam tersebut harus didapatkan melalui metode ilmiah, sehingga menghasilkan teori ilmiah. Berkaitan dengan fungsi ilmu pengetahuan tadi, teori ilmiah harus terpaku pada objek, dan ukurannya adalah objektifitas. Dengan objektifitas maka akan terlihat apakah suatu teori ilmiah memang terpaku pada objek atau terpengaruh oleh hal lain. Jika teori ilmiah tidak terpaku pada objek yang akan diketahui, maka sudah dapat dipastikan pengetahuan yang didapatkan tidak mampu mengenali gejala-gejala yang dihasilkan oleh objek tersebut.
Ilmu pada dasarnya harus praktis dan juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[20] Objektifitas dalam teori ilmiah menentukan dalam ke-praktis-an tersebut. Jika suatu teori tidak objektif, sudah pasti pengetahuan yang mencoba digali dari suatu objek akan dimaknai secara salah, sehingga penjelasan, prediksi, dan kontrol yang diharapkan dari objek tersebut tidak dipahami secara benar. Pada akhirnya, teori tersebut tidak berfungsi. Teori yang diharapkan mampu meringkas pengetahuan yang didapat dari pemahaman gejala-gejala alam harus sesuai dengan kenyataannya. Objektifitas teori ilmiah akan memastikan apakah suatu teori memang sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dalam hal ini tentu dapat dipahami apa yang dimaksud  dengan objektifitas sebagai pengendali teori ilmiah. Objektifitas memastikan teori tetap fokus pada objek. Objektifitas mengendalikan teori ilmiah agar tetap sesuai dengan pengetahuan yang ada dalam dirinya sendiri.

Kesimpulan
Objektifitas berasal dari keperluan untuk memahami sebuah objek sebagai mana adanya, agar ia menggambarkan realitas atau kenyataan yang ada. Realitas hanya untuk dipahami bukan untuk diciptakan atau ditemukan. Proses menuju objektifitas bermula dari munculnya pengetahuan yang berasal dari filsafat. Metode yang digunakan pada akhirnya melangkahi filsafat itu sendiri, ia tidak hanya sekedar bicara kenyataan, tetapi kenyataan yang rasional dan dapat dipersepsi oleh indra. Pada perkembangannya pengetahuan bertujuan menghasilkan ilmu murni yang ilmiah. Ilmu yang tujuannya hanya menjelaskan dan memaknai suatu objek tanpa bertujuan mengubahnya. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, karena itu penting kiranya untuk memaknai ilmu itu sebagai mana adanya. Kemudian, untuk membantu meringkas pemahaman tersebut, diadakanlah suatu generalisasi, yang berujung pada teori ilmiah. Teori ilmiah ini harus objektif karena ia hanya menjelaskan segala sesuatu pada objek saja.
Objektifitas tentu tidak dapat ditentukan begitu saja, ia memiliki kriteria. Kriteria tersebut adalah objektifitas mengacu kepada sesuatu yang benar (nyata dan ada) secara independen terhadap siapa pun yang menilainya; objektifitas adalah penilaian manusia yang dapat dikatakan objektif; dan objektifitas sebagai sikap yang dimaknai sebagai keterbukaan untuk menyangkal melalui data-data yang berasal dari objek nyata. Objektifitas tidak melekat begitu saja, ia harus dipahami sebagaimana adanya, bahkan harus melibatkan subjek lain untuk memastikan bahwa suatu teori ilmiah adalah objektif. Pada dasarnya, objektifitas mencakup hal-hal yang bukan metafisik. Teori ilmiah harus objektif untuk memastikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh bisa bermanfaat. Objektifitas dapat berfungsi sebagai pengendali teori ilmiah.


[1] Dwane H. Mulder, Objectivity, http://www.iep.utm.edu/o/objectiv.htm diakses pada 10 April 2009, pukul 15.30.

[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2004. 87
[3] Ibid. 90
[4] Margaret S. Archer dan William Outhwaite (ed.), Defending Objectivity: Essays in Honour of Andrew Collier, (London: Routledge), 2004. 117

[5] Bakhtiar, Op. Cit. 94-98
[6] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: YOI), 2006. 10
[7] Ibid. 11
[8] Ibid.
[9] Mulder, Op. Cit.
[10] Suriasumantri, Op. Cit. 12
[11] Ramlan Surbakti, “Teori dalam Penelitian Ilmu Sosial”, dalam Bagong Suyanto (ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana), 2007.  38
[12] Mulder, Op. Cit.
[13] Andrew Collier, In Defence of Objectivity and Other Essays: On Realism, Extentialism, and Politics, (London: Routledge), 2003. 134-139.
[14] Mulder, Op. Cit.
[15] Surbakti, Op. Cit.
[16] Collier, Op. Cit. 140
[17] Mark Sacks, Objectivity and Insight, (New York; Oxford University Press Inc.) 2000. 169
[18] Paul Diesing, “Objectivism vs. Subjectivism in the Social Sciences”, Philosophy of Science, Vol. 33, No. 1/2 (Mar. - Jun., 1966), pp. 124-133.  126
[19] Suriasumantri,Op. Cit. 12
[20] Ibid. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar