Kamis, 08 Desember 2011

20 Tahun Rusia Baru


8 Desember 2011 dalam  penanggalan Kalender Julian, Presiden Rusia Boris Yeltsin, Presiden Ukraina Leonid Kravchuk, dan Presiden Belarus Stanislau Shushkevich bertemu secara rahasia untuk membahas pembubaran Uni Sovyet dan pembentukan Negara Persemakmuran Merdeka (CIS). Dengan merdekanya 3 negara dengan etnis mayoritas di Sovyet itu maka tidak ada alasan lagi bagi Presiden Mikhail Gorbachev untuk mempertahankan eksistensi Uni Sovyet. Negara Komunis pertama dan terbesar di dunia itu harus mengakhiri sejarah ‘singkat’nya. Kapitalis Barat menang, Rakyat Rusia menang, semua menang, hanya Komunisme yang kalah.
Presiden Rusia Boris Yeltsin setelah mengumumkan pemisahan Rusia dari Uni Sovyet

Sepeninggal Uni Sovyet, Liberalisasi terjadi di seantero Rusia. Rezim Yeltsin menjanjikan Rusia yang modern, meski pada kenyataannya, sistem politik yang digunakan berubah menjadi sangat kuno. Kelompok-kelompok yang terbentuk di antara reformis pro-Barat di satu pihak, dan Yeltsin beserta birokrat daerah yang mengelilinginya di pihak lain, telah membuat elit-elit liberal berusaha memperoleh suatu hal yang paling berharga, yaitu kekuasaan, dan dukungan jutaan orang yang mungkin tidak akan pernah didengar oleh elit-elit tersebut. Hal ini yang menyebabkan mengapa kelompok liberal yang terdiri dari intelektual pro-Barat menjadi sangat mendukung Yeltsin. 

Rendahnya kualitas kepemimpinan Yeltsin, membawa Rusia kepada politik klan, di mana selain beraliansi dengan oligarki, Yeltsin juga memasukan keluarganya ke dalam lingkaran kekuasaan. Pada masa kepemimpinan Yeltsin, pengelolaan pemerintahan terpusat pada Yeltsin dan kroni-kroninya, yang diantaranya adalah putri Yeltsin sendiri, Yelena Okulova dan Tatyana Dyachenko, serta orang-orang dekat mereka, seperti taipan media Boris Berezovsky, jurnalis Valentin Yumashov, mantan perdana menteri Anatoly Chubais dan Boris Nemtsev, staf kepresidenan Aleksandr Boloshin, serta konglomerat gas Roman Abramovic. Mereka kemudian menjalankan sebuah kelompok kecil eksklusif yang dekat dengan Yeltsin dan menjalankan politik Rusia sesuai dengan yang mereka inginkan.[1]
Gennady Zyuganov hampir saja memenangi pemilihan Presiden Rusia 1996, Yeltsin mencurangi Pemilu untuk mencegah berkuasanya kembali Partai Komunis
 
Yeltsin sendiri tidak mampu mengawasi apa saja yang dikerjakan oleh kelompok eksklusif ini. Ia sangat mengkhawatirkan jika Rusia, setelah kepemimpinannya berakhir, jatuh ke tangan Zyuganov (komunis) atau Zhirinovsky (ultra nasionalis), yang sangat menentang Yeltsin sejak awal berkuasa. Selain itu, masih ada Yuri Luzhkov yang pada waktu itu masih menjabat walikota Moskwa. Luzhkov termasuk salah seorang kandidat pengganti Yeltsin yang populer, ia di dukung mafia Rusia yang berpengaruh.[2]

Tidak lama setelah Soviet bubar, fokus Yeltsin menjadi terganggu, terutama karena masih kuatnya pengaruh komunisme di Rusia. Kurun waktu September sampai Oktober 1993, terdapat konfrontasi antara Yelstin dengan parlemen, yang oleh Yeltsin diselesaikan dengan cara mengirim tank-tank untuk menghadapi parlemen. Hal ini tentu saja melukai proses demokratisasi yang tengah berlangsung. Sebagai akibat dari konfrontasi tersebut, kekuasaan parlemen dibatasi melalui konstitusi baru yaitu Konstitusi Federasi Rusia 1993, di mana kewenangan menjadi terpusat kepada presiden.[3] Di samping itu, Partai Komunis Federasi Rusia mengungguli perolehan kursi parlemen pada Pemilu 1995. Karena itu yang diinginkan Yeltsin adalah melakukan segala upaya untuk mencegah kemenangan kandidat komunis, Gennady Zyuganov, dalam pemilihan presiden 1996. Bagi Yeltsin, kemenangan komunis akan menjadi kekalahan total demokrasi, walaupun sepertinya ia tidak terlalu bersungguh-sungguh soal demokrasinya. Yeltsin beruntung karena Konstitusi 1993 membuat parlemen tidak terlalu berpengaruh dan ia juga berhasil mengalahkan Zyuganov dalam pemilihan presiden.[4]

Era Baru Rusia

Kemunculan Vladimir Putin tidak pernah disangka oleh masyarakat Rusia sebelumnya. Mantan Kepala Dinas Keamanan Federal (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti/FSB) Rusia ini kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri sebelum akhirnya menjadi pejabat presiden menggantikan Yeltsin yang sakit. Jika kepemimpinan Yeltsin menghasilkan kelas pengusaha yang mempengaruhi politik (oligarch dalam istilah politik Rusia mengacu kepada Pengusaha Politisi), maka kepemimpinan Putin disokong oleh siloviki. Istilah siloviki berasal dari silovye struktury (struktur kekuatan), mengacu kepada militer, lembaga penegak hukum (kepolisian), dan badan intelijen. Seorang silovik (jamak: siloviki) adalah mantan anggota dari badan-badan tersebut. Mereka berada dalam pengaruh Putin dan telah tumbuh menjadi satu kekuatan baru yang dapat mempengaruhi kebijakan. Para silovik menekankan perlunya mengembalikan kekuatan negara dan memiliki pandangan bagaimana ekonomi seharusnya dijalankan.

Siloviki akan berusaha untuk menkonsolidasikan kekuatan mereka untuk menjaga keberlangsungan peran mereka bahkan setelah Presiden Putin tidak lagi menjadi presiden, atas nama Rusia Raya (Velikaya Russ). Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai bagian dari siloviki dan dekat dengan kelompok tersebut pada saat terjadinya kasus Yukos antara lain adalah; Menteri Pertahanan, Sergei Ivanov, yang merupakan lulusan akademi KGB (Komite Keamanan Pemerintah); Kepala Kamar Audit, Sergei Stepashin, mantan Kepala FSB (Dinas Keamanan Federal, pengganti KGB); Kepala FSB, Nikolai Patrushev; dan Kepala Kejaksaan Rusia, Vladimir Ustinov.
Jaringan siloviki dalam lingkaran kekuasaan Putin

Pengaruh siloviki dan kharisma Putin yang kuat ini menyebabkan Pemilu 2008 hanya sekedar formalitas saja bagi rakyat Rusia. Mayoritas masih menginginkan Putin menjadi Presiden, tetapi karena aturan konstitusi membatasi Putin maksimal hanya dua periode (berakhir pada 2008), ia mempromosikan Dimitry Medvedyev yang merupakan Perdana Menteri dan adik kelasnya di Fakultas Hukum Universitas St. Petersburgh, dan Putin sendiri kemudian menjadi PM. Di masa Medvedyev ini periode kepemimpinan presiden diperpanjang dari 4 tahun menjadi 6 tahun, sehingga pada Pemilu 2012, Putin yang sudah berhak untuk mencalonkan diri lagi, punya kesempatan memimpin Rusia sampai 2024.

Putin sepertinya tetap memiliki visi terhadap demokrasi di Rusia, hanya saja ia menekankan bahwa demokrasi membutuhkan negara yang kuat. Menurutnya,
“Rusia akan dan harus menjadi negara dengan masyarakat sipil yang maju dan demokrasi yang stabil. Rusia akan menjamin hak asasi secara penuh, kebebasan sipil dan politik. Rusia akan dan harus menjadi negara dengan ekonomi pasar yang kompetitif, sebuah negara di mana hak kepemilikan dilindungi dan kebebasan ekonomi membuat seseorang dapat bekerja dengan jujur dan memperoleh hasilnya tanpa perlu khawatir terhadap pembatasan apa pun. Rusia akan menjadi negara yang kuat,  dengan perlengakapan militer yang baik, modern, dan pasukan yang terampil, yang selalu siap mempertahankan Rusia dan sekutunya dan kepentingan nasional serta warga negaranya.... Ini adalah tujuan strategis kita.”[5]

Karena itu, ketika kita melihat demo besar-besaran di Moskwa akhir-akhir ini, media barat memberitakannya seakan-akan Rusia menjadi ‘Arab’ di Eropa Timur, padahal di luar Moskwa dan Kaukasus, nama Putin tetap populer. Putin mengembalikan harga diri Rusia yang hancur lebur pada masa Yeltsin, ia juga berhasil mengembalikan aset-aset berharga Rusia dengan melakukan re-nasionalisasi pada perusahaan-perusahaan penghasil sumber daya alam strategis. Putin mencanangkan program industri militer yang modern, mengedepankan pengembangan teknologi luar angkasa dengan meluncurkan Glonass sebagai pesaing GPS, dan menyebarkan pengaruh Rusia ke negara-negara yang diisolasi Barat, seperti mendukung Iran di PBB dan memberikan pelatihan tentang teknologi peluru kendali kepada ilmuwan Myanmar.
Kerumunan demonstran yang menuntut pemilu bersih dan transparan di Moskwa. Gerakan ini yang dibesar-besarkan media Barat untuk menjatuhkan citra Putin

Rusia yang kuat dibutuhkan oleh dunia saat ini untuk mengimbangi militer Amerika Serikat dan ekonomi China. Rusia memberi pelajaran kepada Barat yang sewenang-wenang terhadap Serbia dengan menyerbu Georgia pada 2008, menghentikan pasokan gas ke Ukraina (yang berarti terhentinya pasokan ke Eropa) karena Barat ikut campur dalam politik dalam negeri negara yang menjadi ‘halaman belakang’ bagi Rusia tersebut. Rusia membentuk kerjasama dengan China dan Negara-negara CIS diseputaran perbatasan kedua negara itu dalam Organisasi Kerjasama Shanghai, dan membentuk komunitas negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat  dalam BRICS (Brazil, Rusia, China, India, and South Africa). Dua puluh tahun berlalu, bayang-bayang Sovyet sudah lenyap tak bersisa, meski Partai Komunis Rusia mulai tampil sebagai penantang kuat. Tetapi, rakyat Rusia secara psikologis masih membutuhkan pemimpin yang kuat dan dominan. Selamat merayakan hari besar. VELIKAYA RUSS!!!!


[1] P. L. Dash, “Twilight of Yeltsin Years”, Economic and Political Weekly, Vol. 34, No. 37 (Sep. 11-17, 1999), pp. 2639-2641. Hlm. 2640.
[2] Ibid.
[3] John S. Dryzek dan Leslie T. Holmes, Post-Communist Democratization: Political Discourse Over Thirteen Countries, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). Hlm. 93
[4] Kekalahan Zyuganov ini dicurigai karena adanya manipulasi suara oleh Yeltsin pada pemilihan putaran kedua, selengkapnya lihat M. Steven Fish, Democracy Derailed in Russia: The Failure of Open Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005). Hlm. 33
[5] Richard Sakwa, Putin: Russia’s Choice – 2nd edition, (Oxon: Routledge), 2008. 299

Tidak ada komentar:

Posting Komentar