Selasa, 27 Desember 2011

Maoisme dalam Spektrum Ideologi

Mao ketika menerima kunjungan CC PKI di Pekin (Beijing), tampak Ketua CC PKI, D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto

Mao Zedong dilahirkan tahun 1893 di desa Shao-shan di propinsi Hunan, China. Ayahnya petani agak berada. Di tahun 1911 tatkala Mao masih mahasiswa dalam usia sembilan belas tahun, revolusi pecah memporakporandakan dinasti Ch'ing yang memang sudah melapuk. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja pemerintahan kaisar sudah terhalau dan terjungkir, Cina diproklamirkan sebagai sebuah republik. Malangnya, pemimpin-pemimpin revolusi tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan yang kompak dan stabil, revolusi ditandai oleh keresahan dan perang saudara dalam jangka waktu lama, yang berlangsung dari 1945 hingga tahun 1949. Ketika remaja, Mao secara pasti menempuh paham kiri dalam pandangan politiknya dan pada tahun 1920 dia betul-betul sudah jadi Marxis.[1]
Sementara itu, dalam usahanya memegang kekuasaan secara keseluruhan pun partai Komunis Cina jalannya merangkak, berliku-liku, dan terguncang-guncang.  Partai menderita banyak kemunduran di tahun 1927 dan tahun 1934, tetapi bagaimanapun dia mampu bertahan dan hidup terus. Sesudah tahun 1935, di bawah kepemimpinan Mao, kekuatan partai secara mantap meningkat dan berkembang terus. Di tahun 1947, Partai Komunis China sudah siap tempur menumbangkan pemerintahan partai Nasionalis pimpinan Chiang Kai-shek. Di tahun 1949, pasukannya merebut kemenangan dan partai Komunis menguasai mutlak seluruh daratan Cina.
Berkat pengaruh Mao yang luar biasa besar pada massa, semua kekurangan itu bukannya akhir melainkan justru awal dari karier kepemimpinannya, karena pada saat wafatnya tahun 1976 praktis Mao sudah merombak total seluruh China. Tentu saja, bukan Mao seorang yang menentukan garis politik pemerintah di bawah partai Komunis. Mao tidak pernah memegang peranan seorang diri seperti halnya dilakukan oleh Stalin di Uni Soviet. Tetapi, memang benar Mao merupakan tokoh jauh lebih penting dari siapa pun dalam pemerintahan di China hingga akhir hayatnya tahun 1976.

Marxisme
Marxisme adalah akar utama dari komunisme, yang merupakan hasil pemikiran Karl Marx, seorang ahli sejarah, ekonomi, dan filsafat Jerman. Bagi para pengikutnya, Marxisme tidak hanya terbatas pada permasalahan ekonomi dan politik saja, ia mampu mencakup seluruh persoalan yang dihadapi umat manusia di dunia. Marxisme memberikan penjelasan tentang semua sejarah perkembangan manusia, karena itu  ia membutuhkan komitmen total dari pengikutnya untuk menyerah hanya kepada kekuatan absolut massa. Marxisme juga menyediakan rangkaian tujuan, untuk memaknai hidup, dan memberikan inspirasi bagi manusia untuk bertindak, dan menganggap apa yang dikerjakan oleh Marxisme ini adalah sesuatu yang ilmiah.[1]
Konsep inti dari Marsixme adalah materialisme historis,[2] yaitu sebuah konsep yang berdasarkan pada asumsi bahwa gagasan, pemikiran, dan kesadaran direfleksikan dari realitas objektif kebendaan, atau dunia nyata adalah segala sesuatu yang disusun oleh materi. Konsep ini mempertentangkan idealis yang mendasarkan pada asumsi bahwa kekuatan spiritual dan supranatural lah yang menjadi sebab segala hal.
Konsep selanjutnya dalam Marxisme adalah basis dan suprastruktur,[3] yang merupakan dua bagian tidak terpisahkan untuk menjelaskan aktifitas manusia dalam pengertian materialisme. Basis, mewakili kombinasi dari “relasi produksi” yang terdiri dari struktur ekonomi masyarakat dikaitkan dengan tingkatan tertentu dari perkembangannya. Sedangkan suprastruktur mewakili bentuk tertentu dari kesadaran sosial, institusi politik, dan norma hukum, dikaitkan dengan basis ekonomi dan dideterminasi oleh basis ekonomi tersebut.
Doktrin Marxisme juga menjelaskan kelas sosial secara ekslusif, dalam pengertian hubungannya dengan cara produksi, peran dalam organisasi sosial buruh, dan kekayaan. Kelas-kelas terbentuk sebagai hasil dari pembagian kerja dan pengenalan kepemilikan pribadi dari cara-cara produksi. Setiap pembabakan historis dikarakterisasi dengan perbedaan struktur sosial yang merefleksikan konflik kelas.[4]

Leninisme
Leninisme adalah versi Rusia dari marxisme. Leninisme merupakan pemikiran Vladimir Lenin yang didasarkan pada pemahamannya mengenai Marxisme. Leninisme mengandung beberapa konsep penting, salah satunya adalah mengenai peran partai revolusioner. Partai ini merupakan tipe yang unik dari partai politik, ia terdiri dari anggota yang berdedikasi, disiplin, teruji, dan terlatih dengan baik dalam hal memahami komunisme. Elit partai dijalankan dalam organisasi yang sentralistis, sebuah bagian yang substansial dalam partai komunis.[5] Partai komunis kebanyakan menggunakan teori sentralisme demokrasi Lenin, di mana hanya ada segilintir orang yang mengendalikan partai (atau organisasi) yang memiliki pemahaman yang paling baik di antara anggota lainnya (sentralis), meski begitu penentuan siapa saja yang bisa duduk dalam kepemimpinan tetap ditentukan melalui pemilihan (demokrasi).[6]
Untuk mewujudkan sebuah negara berdasarkan Marxisme setidaknya dibutuhkan dua tahap dalam pandangan Leninisme, diantaranya, hak milik pribadi atas alat-alat produksi diganti menjadi milik sosial, di mana sarana-sarana produktif seperti pabrik, toko, bengkel, dan tanah pertanian menjadi milik negara atau koperasi. Perbedaan dalam kebutuhan dan kemampuan bekerja orang belum bisa di perhitungkan, sehingga pada permulaan masih akan ada ketidaksamaan material dan banyak kekurangan. Untuk mengatur keadaan tersebut diperlukan negara sebagai pengatur, sehingga menurut Leninisme negara adalah alat, bukan tujuan.[7]


Maoisme
Maoisme selalu dipahami sebagai varian dari Marxisme yang telah dipersepsikan oleh Mao, namun ternyata Mao sendiri merasa bahwa ia tidak sepenuhnya menguasai seluruh domain dari Marxisme.[2] Mao pada dasarnya memang bukan pemikir Marxis yang original di China. Ia banyak dipengaruhi oleh Li Dazhao, bapak Marxisme China. Mao mengaggumi konsep-konsep Li yang tidak hanya mengharuskan kaum intelektual bergabung dengan massa, melainkan juga harus memperdalam nasionalismenya. Hal tersebut kemudian membuat Mao menjadi seorang Marxis-Leninis dan sekaligus seorang nasionalis.[3]
Nasionalisme juga merupakan salah satu karakteristik dari Maosime, jika Leninisme menganggap negara hanya sebagai alat untuk menuju revolusi dunia bagi terciptanya masyarakat komunisme, maka Mao melihat negara tidak hanya sekedar alat tetapi (khusus bagi pengalaman Asia) negara juga merupakan sebuah nilai tersendiri, karena itu nasionalisme juga penting untuk ditumbuhkan disamping kesadaran tentang komunisme.[4] Namun, nasionalisme yang dimaksud Mao bukanlah nasionalisme konservatif China yang bersifat konservatif Konfusian atau nasionalis gaya barat, tetapi nasionalisme revolusioner, yang tidak perlu melewati tahapan Westernisasi.[5] Dalam pandangan Mao, ajaran Marx dan Engels hanya memiliki sedikit relevansi dengan keadaan di China, karena mereka hanya menjadikan manusia sebagai objek pasif dari kekuatan sejarah.
Hal lain yang membedakan Maoisme dari Marxisme-Leninisme pada umumnya adalah anggapan Mao bahwa petani memiliki inisiatif dalam menentukan arah revolusi, karena itu petani harus dilibatkan dalam revolusi.[6] Sementara, menurut Lenin, revolusi harus tetap dikendalikan oleh proletar, dan ia juga menolak petani bisa memiliki kesadaran sendiri dalam melakukan revolusi, petani harus disadarkan, dan dalam hal revolusi ia hanya sebatas membantu kelas proletar, bukannya menjadi aktor tunggal. Tetapi bagi Mao, di China petani adalah kelas utama yang dapat mewujudkan terjadinya revolusi, dan sebenarnya hal ini telah diprediksi oleh Lenin sendiri bahwa di Asia revolusi akan digerakkan oleh petani.
Maoisme menganggap bahwa proses dialektika sebenarnya tidak akan berujung, karena bagi Mao kontradiksi yang terjadi selama ini akan abadi, hal ini bertolak belakang dengan konsep dialektis gaya Hegel yang menjadi ruh Marxisme, bahwa proses dialektis tersebut akan berakhir dengan terbentuknya masyarakat komunisme. Mao melihatnya tidak seperti itu, menurutnya kontradiksi-kontradiksi akan bervariasi dengan berbagai macam bentuk, Mao juga menganggap bahwa terdapat kemungkinan terjadinya regresi sejarah yang bertentangan dengan perkembangan masyarakat yang telah dikonsepkan Marx, karena itu kedua konsep Mao tersebut digolongkan sebagai konsep non-Marxis.[7]
Mao termasuk radikal dalam menerjemahkan dan menerapkan Marxisme-Leninisme di China, termasuk dalam menerjemahkan ungkapan Lenin bahwa meskipun masyarakat sosialis telah lama terbentuk, kapitalisme masih memiliki peluang untuk bangkit kembali karena masih terdapatnya “ide-ide borjuasi” dalam pikiran orang tertentu. Khawatir dengan kebenaran ungkapan Lenin tersebut, Mao kemudian menyerukan dilakukannya Revolusi Kebudayaan dengan mengirimkan orang-orang kota yang dianggap masih memiliki “ide-ide borjuasi” ke desa-desa untuk menjalani hidup sebagai petani, agar “ide-ide borjuasi” tadi bisa terkikis dan tergantikan dengan ide-ide yang dimilliki oleh para petani.[8]
Pemikiran Mao tetap tidak terlepas dari kritik, banyak ahli menganggap tidak ada yang original dari teori-teori Mao. Ia kebanyakan hanya mengulang apa yang telah dikemukakan Lenin, seperti tentang kesadaran kelas, teori imperialisme, dan ide tentang aliansi politik antara proletar dengan kelas lain. Mao tidak pernah menciptakan sendiri teori yang memang berasal dari hasil pemikirannya dalam sintesa lengkap. Ia hanya mempersonifikasikan sebuah sintesa antara Marxisme-Leninisme dan China tradisional, ia sama sekali tidak menciptakan sebuah sintesa intelektual, yang terjadi sebenarnya hanyalah sebatas campuran dari keduanya.[9] Kondisi yang demikian bisa jadi disebabkan karena Mao memang tidak sepenuhnya menguasai Marxisme-Leninisme itu sendiri.

Pemerintah China mungkin bisa mengawetkan jasad Mao, tetapi mereka gagal mengawetkan pemikirannya

Maoisme Setelah Reformasi 1978
Setelah Reformasi 1978, Maoisme tidak lagi berjaya seperti ketika Mao masih hidup. Masyrakat China dapat menerima pemikiran Mao bukan karena ia memang memiliki nilai yang layak atau sesuai, tetapi lebih karena mereka tidak memiliki pilihan lain.[10] Pemikiran Mao mulai ditinjau ulang, disesuaikan dengan tujuan-tujuan reformasi. Pembangunan model Soviet diganti dengan sosialisme model China. Kegagalan China di segala bidang kehidupan selama dipimpin Mao lah yang menyebabkan akhirnya maoisme juga harus tersingkir oleh gelombang reformasi.
Andrew G. Walder menyatakan bahwa kegagalan maoisme setidaknya disebabkan oleh dua hal.[11] Pertama, ketika Mao memutuskan untuk menghalangi motif pasar dan menekan alokasi pasar, yang terjadi adalah motif administratif dan alokasi birokrasi. Keadaan yang demikian tidak dapat dipungkiri, telah menguntungkan segelintir birokrat dan elit partai, yang sebenarnya membentuk kelas kapitalis baru dengan jubah komunisme. Kedua, penguatan ideologi dan kediktatoran proletariat telah menyebabkan terjadinya kediktatoran birokrat. Hal-hal semacam ini pada akhirnya semakin menjerumuskan China.
Untuk mengatasi kegagalan Maoisme, maka Deng Xiaoping memberikan dukungannya kepada Hu Yaobang, sekretaris jenderal partai, untuk melakukan reorientasi ideologi, untuk mendukung reformasi. Reorientasi ideologi kemudian membuka peluang masuknya ide-ide barat dan nilai tradisonal China secara selektif. Pemimpin China pasca-Mao memang ingin memperbaiki Maoisme tanpa perlu menyalahkan Mao atas kegagalan Maoisme. Reorientasi tersebut dilandaskan pada prinsip “mencari kebenaran dari fakta” menggantikan “kebenaran dari pimpinan”. Maka dimulailah diskusi dan perdebatan mengenai nasib ideologi tersebut.[12]
Reorientasi ideologi  pertama kali menyentuh identifikasi nasionalisme dan sosialisme, untuk melengkapi pemikiran Mao sebelumnya. Kemudian, untuk mendukung arah ekonomi baru China, yang menerapkan sistem “pasar-sosialis”, bentuk-bentuk kepemilikan individu mulai diperkenalkan. Kapitalisme juga mengalami perbaikan makna, setidaknya faktor kapitalis tidak akan berbahaya apabila negara menerapkan kediktatoran proletar,[13] karena itu kemudian muncul kelas-kelas kapitalis baru yang bekerja sama dengan negara dalam bidang ekonomi. Pergerakan reformasi dan reorientasi ideologi sebisa mungkin tidak sampai menggangu tatanan sosial yang sudah ada di China, sehingga China kemudian tidak terlalu khawatir tentang menguatnya demokratisasi yang nantinya akan semakin mengikis pondasi ideologi komunisme.






[1] Jung Chang dan Jon Halliday menganggap bahwa sebenarnya Mao tidak terlalu bersungguh-sungguh untuk menjadi seorang Marxis. Lihat Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007). hlm 28-44
[2] Nick Knight, “The Marxism of Mao Zedong: Empiricism and Discourse in the Field of Mao Studies”, The Australian Journal of Chinese Affairs, No. 16 (Jul., 1986), pp. 7-22. hlm 7
[3] Rene Goldman, “Mao, Maoism and Mao-logy”, Pacific Affairs, Vol. 41, No. 4 (Winter, 1968-1969), pp. 560-574. hlm 564
[4] Ibid. hlm 565
[5] Ibid. hlm 564
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm 566
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm 565
[10] Andrew G. Walder, “Actually Existing Maoism”, The Australian Journal of Chinese Affairs, No. 18 (Jul., 1987), pp. 155-166. hlm 157
[11] Ibid. hlm 165
[12] Kalpana Misra, “Deng’s China: Form Post-Maoism to Post-Marxism”, Economic and Political Weekly, Vol. 33, No. 42/43 (Oct. 17-30, 1998), pp. 2740-2748. hlm 2740
[13] Ibid. hlm 2742

Tidak ada komentar:

Posting Komentar