Senin, 30 Juli 2012

Profil Elit Politik Indonesia pasca Pemilu 1999 (Sirine Bahaya Reformasi Birokrasi?)


Partai Politik Sebagai Kendaraan Elit (1999-2009)

Dimulai dari pemilu 1999, elit-elit politik mulai bermunculan dari partai politik, yang menjelang pemilu 1999 tumbuh bagai jamur di musim hujan. Elit-elit lama segera berganti jubah, mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai yang dikenal reformis dan segera berbaur dengan elit baru. Partai politik yang tumbuh dan berdiri setelah reformasi tidak diikuti proses institusionalisasi dalam tubuh partai. Partai politik hanya didirikan sebagai kendaraan untuk memperoleh kekuasaan politik, tujuan mereka semata-mata elitis, karena itu tidak keliru jika dikatakan pada periode 1999 dan selanjutnya, partai politik tidak lebih dari sekelompok elit yang terorganisir.
Secara umum, persoalan partai politik di Indonesia setelah reformasi bergulir adalah tumbuhnya partai presidensial atau presidensialisasi partai, meningkatnya otoritarianisme intra-partai, melazimnya ‘politik uang’, terbangunnya kartel, dan mulai menonjolnya elit daerah (fenomena putra daerah). Presidensialisasi partai maksudnya adalah penggunaan partai politik hanya sebagai persyaratan untuk menjadi calon presiden, sehingga fungsi-fungsi utama partai politik cenderung dikesampingkan, akibatnya yang terjadi adalah pemanfaatan media massa dan komunikasi untuk menjaring massa, atau lebih populer dikenal dengan politik pencitraan.[1] Partai presidensial semacam itu tidak terlalu memikirkan kaderisasi bahkan ideologi, karena tujuan akhirnya hanya memenangkan sang kandidat. Karena itu, partai membutuhkan sokongan dana yang kuat (untuk kepentingan pembangunan citra) dan tokoh yang populer. Hal ini membuka peluang masuknya orang-orang kaya, terutama pengusaha, dan tentu saja kemudian berkaitan dengan melazimnya politik uang. Partai presidensial semacam ini pada akhirnya akan meninggalkan ikatan dengan ideologi tertentu dan mulai mencari ceruk pasar pemilih majemuk agar bisa mendulang suara sebanyak mungkin.
Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden adalah contoh nyata dari presidensialisasi partai. Partai Demokrat (PD) yang didirikan pada tahun 2001 langsung memperoleh 7.3 persen suara, padahal ia tidak memiliki basis massa tradisional dan tidak menonjolkan ideologi atau aliran tertentu, secara umum Partai Demokrat tidak ada bedanya dengan partai lain. Sosok SBY berperan sangat besar dalam perolehan suara PD, 7.3 persen adalah perolehan yang cukup besar untuk kelas partai baru yang tidak memiliki basis massa jelas dan ikatan sejarah dengan partai-partai lama. SBY berhasil memaksimalkan politik pencitraan sehingga ia dengan gemilang mendulang suara terbanyak pada pemilu presiden 2004.
Dan Slater melihat fenomena populernya SBY merupakan sesuatu yang menentang arus pokok pada masa itu. SBY adalah seorang kandidat presiden Indonesia yang tidak didukung partai besar manapun. Namun, SBY ternyata mendapat sambutan yang baik dikalangan masyarakat. SBY memenangi pemilu presiden dan partainya mendapat 7,3 persen suara pada pemilu yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya, sementara lima partai besar pada pemilu 1999 tidak mengalami kenaikan suara yang signifikan, malah perolehan suara PDI-P sampai turun sekitar 15 persen. Slater melihat fenomena tersebut adalah akibat dari kartel partai yang dilakukan partai-partai besar sebelum pemilu 2004. Kartel tersebut ternyata banyak mengecewakan pemilih, sehingga banyak pemilih yang mengalihkan suaranya dari partai-partai besar tersebut ke partai-partai baru, seperti PKS dan Partai Demokrat. Kartel partai tersebut, sebagaimana yang ditulis Slater telah menciptakan accountability trap (jebakan akuntabilitas).[2]
Slater menilai bahwa pasca-pemilu 1999, konfigurasi partai politik diarahkan hanya untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan belaka, sehingga (dengan menggunakan istilah Katz dan Mair) terjadilah apa yang dinamakan sebagai collusive democracy (demokrasi persengkongkolan) yang elitis.[3] Slater juga menggunakan teori O’Donnell tentang delegative democracy (demokrasi delegatif) atau demokrasi yang diwakilkan, namun yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi delegatif yang negatif. Demokrasi delegatif secara ringkas berangkat dari asumsi siapapun yang memenangi pemilihan dan memperoleh kekuasaan maka ia akan menjalankan kekuasaan tersebut sesuai dengan keinginannya. Hal tersebut menjadi negatif karena pada kenyataannya di Indonesia, presiden yang terpilih menjalankan kekuasaannya dengan mengabaikan suara rakyat, sehingga keinginan sang pemimpin merupakan representasi keinginan elit.[4] Karena itu, yang terjadi kemudian adalah presiden membagi-bagikan kursi kabinet sebagai salah satu cara agar kebijakannya dapat dengan mudah mendapat dukungan partai-partai di parlemen. Kursi-kursi kabinet tersebut dibagikan kepada partai-partai yang tergabung dalam kartel partai tadi. Tujuannya agar partai-partai yang memperoleh kursi di kabinet dapat memanfaatkannya untuk kepentingan partai. Inilah yang disebut sebagai demokrasi persengkokolan. Meski secara prosedur demokrasi telah berjalan, tetapi dalam implementasi masih terjadi penyimpangan, salah satunya adalah adanya persengkokolan elit-elit partai dengan penguasa.
Kemenangan SBY pada pemilu 2004 tidak terlepas dari dukungan partai koalisi (koalisi yang terpaksa dilakukan karena suara PD tidak cukup untuk mengajukan calon presiden). Koalisi partai pendukung SBY menunjukan bahwa faktor pragmatisme cukup untuk membawa mereka pada kesamaan pandangan. Sementara itu, partai-partai lain terjebak pada otoritarianisme intra-partai, seperti PDI-P yang masih sulit mengesampingkan Megawati sebagai tokoh sentral, begitu juga PAN dan PKB. Hanya PKS yang menunjukan kinerja sebagai partai yang baik, secara internal proses suksesi dan kaderisasi terbilang sukses walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada perolehan suara pada pemilu 2009. Partai-partai Islam seperti PPP dan PBB semakin tenggelam. Pertarungan antar elit di dalam partai menyebabkan partai-partai politik besar terpecah-pecah. PDI-P menghasilkan paling banyak sempalan, begitu juga Golkar, sedangkan sempalan PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) adalah sempalan yang paling sukses dalam pemilu 2004 walaupun tidak mampu bertahan pada pemilu 2009.

Karaktersitik Elit Politik Baru Pasca-Pemilu 1999

Elit-elit politik baru setelah reformasi secara garis besar berasal dari kelompok pro-demokrasi pada masa Orde Baru, purnawirawan militer, dan pengusaha. Mereka memasuki ranah politik melalui partai politik, memanfaatkan euforia demokrasi. Sesuai dengan tesis Haggard dan Kaufman, demokratisasi yang disebabkan krisis ekonomi menyebabkan batas politik menjadi rendah sehingga siapapun bisa masuk dalam ranah politik dan mengambil posisi strategis kemudian menjadi elit, asalkan mereka memiliki modal yang cukup untuk itu. Kualitas elit politik tidak ditentukan oleh kualitas manajerial dan kepemimpinan melainkan kemampuan mereka tampil menarik simpati publik. Kemudian para elit ini akan berupaya memaksimalkan segala sumberdaya yang mereka miliki untuk bertahan pada posisi mereka, karena itu mereka sangat berkepentingan untuk mempengaruhi kebijakan untuk menguntungkan posisi mereka. Hal ini menyebabkan maraknya politik uang, misalnya dengan membayar sejumlah uang agar bisa dicalonkan sebagai pejabat publik atau anggota DPR, anggota dewan yang berperan sebagai makelar proyek bagi perusahaan-perusahaan swasta, pengusaha yang mulai menduduki kursi ketua umum partai politik, serta para pengusaha super kaya yang turut memengaruhi kebijkan politik demi keuntungan kelangsungan bisnis mereka.
Sebuah partai disebut memiliki organisasi yang baik jika mempunyai sumber daya manusia dan finansial yang memadai. Selain itu, peran pemimpin—walaupun penting—tidak mengalahkan kedudukan dari partai itu sendiri. Hubungan antar partainya pun berjalan dengan baik, memiliki susunan struktur yang tetap, memiliki daerah cakupan yang luas, terorganisir dengan baik, serta memiliki ketetapan prosedur dan struktur internal yang jelas (meliputi prosedur untuk memilih dan mengganti pemimpin partai). Politisi pun memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partainya, dilihat dari komitmen mereka untuk tidak berpindah partai dan tidak mendukung kandidat dari partai lain di depan umum. Lagi-lagi keadaan ideal ini kontras dengan Indonesia. Padahal menurut Scott Mainwaring, institusionalisasi partai yang lemah dapat membahayakan kualitas demokrasi dan prospek konsolidasi demokrasi.[5] Ia memberikan empat kriteria dalam melihat tingkat institusionalisasi sistem kepartaian. Pertama, stabilitas dalam kompetisi antar partai, kedua, seberapa kuat partai memiliki akar di masyarakat, ketiga, legitimasi partai dan volatilitas perolehan suara partai dalam pemilu, dan yang keempat adalah organisasi partai yang baik.
Proses terbentuknya elit politik baru di Indonesia ternyata mengafirmasi empat pendekatan Haggard dan Kaufman tentang aktor-aktor dalam transisi demokrasi.[6] Pertama, aktor kunci berasal dari pihak pemerintah maupun oposisi. Mereka bukan berasal dari kelompok kepentingan, organisasi massa, atau gerakan sosial, meskipun ketiganya berperan cukup besar dalam menggalang dukungan rakyat untuk menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Begitu pemerintahan baru terbentuk, tokoh-tokoh dari kelompok kepentingan, organisasi massa, dan gerakan sosial ini langsung tersingkir atau menyengkir, hanya sebagian kecil yang terlibat dalam kekuasaan, itupun bukan berada dalam posisi strategis. Pemerintahan baru pasca-pemilu 1999 berisi elit-elit yang berasal dari rezim lama, terutama politisi Golkar, dan oposisi, seperti Megawati, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid. Selain itu, pensiunan jenderal dari kalangan militer juga terlibat seperti Wiranto dan SBY.
Kedua, definisi dari sikap para elit politik terhadap perubahan rezim. Elit-elit politik pun pada akhirnya berbeda sikap menanggapi perubahan rezim. Megawati yang pada saat rezim lama berkuasa ditekan sedemikian keras, justru malah cenderung lunak terhadap rezim lama. Sementara itu, Abdurrahman Wahid malah melakukan perubahan yang signifikan terhadap institusi-institusi negara yang ada. Ia menghapus departemen yang dianggap sebagai biang korupsi, dan turut campur tangan dalam persoalan internal militer untuk membersihkan militer dari perwira-perwira konservatif dan bermaksud mempromosikan perwira progresif yang justru menimbulkan rasa tidak senang dari kalangan militer sendiri dan politisi di parlemen yang berujung pada pemakzulannya dari kursi presiden.
Ketiga, aktor berprilaku strategis dengan mempertimbangkan perilaku kawan dan lawan. Hal ini lah yang menyebabkan perpecahan di kalangan partai-partai yang tergolong mapan, seperti PDI-P, Golkar, dan PPP, serta munculnya banyak partai baru. Elit politik baru tergolong dalam elit yang terpecah (fragmented), sehingga integrasi struktural dan konsensus nilai terjadi secara minimal, dalam pengertian bahwa jaringan komunikasi dan pengaruh tidak melintasi batas partisan dan sektor elit secara komperhensif. Mereka kemudian menjaga jarak melalui partai politik. Meski begitu, banyaknya politisi yang dengan segera berganti partai setelah pemilu membuktikan perilaku strategis mereka, ditambah belum terinstitusionalisasinya partai-partai politik di Indonesia apabila mengacu kepada kriteria Mainwaring. Terakhir, demokratisasi pada akhirnya adalah proses tawar-menawar antar kepentingan pribadi elit politik. Dengan memanfaatkan partai politik, mereka dengan sekuat tenaga mempertahankan posisi strategis mereka di kekuasaan atau tempat lain yang dapat mempengaruhi kebijakan. Dari hal ini kemudian muncul kecurigaan bahwa kebijakan-kebijakan kontroversial yang dibuat, tidak lain untuk menguntungkan partai politik atau elit tertentu.

Kesimpulan

Dalam konstelasi politik yang terfragmentasi seperti Indonesia saat ini, yang dilakukan (mayoritas) elit politik adalah mengkapitalisasi sumber-sumber kekuasaan untuk mempertahankan rezim atau membentuk rezim yang baru. Setiap kebijakan yang dibuat dengan melibatkan elit politik ini bukanlah kebijakan publik (untuk menyelesaikan masalah publik) tetapi merupakan kebijakan rezim (untuk menyelesaikan masalah rezim). Setiap proses pembuatan kebijakan adalah sarana kapitalisasi sumber kekuasaan. Salah satu cara membawa hal ini kepada keadaan yang lebih baik adalah dengan menggiring masalah publik menjadi masalah rezim. Proses politik dalam praktek sekarang ini masih sulit membuka peluang untuk masuknya individu yang kompeten.


[1] Saiful Mujani, “Presidensialisasi Partai Politik?”, Koran Tempo, Kamis, 23 Januari 2003.
[2] Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”, Indonesia, Vol. 78, (Oct., 2004), pp. 61-92, hlm. 65.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 68.
[5] Scott Mainwaring, “Party Systems in the Third Wave,” Journal of Democracy, Volume 9, Number 3, July 1998, hlm. 79.
[6] Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman, “The Political Economy of Democratic Transition” dalam Lisa Anderson (ed), Transition to Democracy (New York: Columbia University Press, 1999), hlm. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar